Sepertinya,
hujan sore ini memanggilku untuk datang. Langkahku terseok-seok menerobos pekatnya
hujan berkabut tebal. Tak peduli. Payungku bermotif bintang kecil-kecil berwarna
biru muda sudah tak menyesuaikan lagi dengan tugasnya memayungi si empunya. Aku
hanya merasakan ingin bertemu seseorang. Yah, seseorang yang selalu kutunggu dalam
hari-hariku. Aku akan menemuinya! Jerit hatiku.
***
Library
Cafe,
25 November 1998
Dalam
beberapa hari terakhir dalam bulan November ini aku memperhatikannya berkali-kali.
Sedetil-detilnya penelitianku dan kuyakin penglihatanku tidaklah salah. Untuk meyakinkan
dugaanku, sengaja aku juga menanyakan beberapa pegawaiku, dan jawaban mereka sama,
tak ubahnya dengan apa yang aku harapkan.
Seorang
laki-laki berwajah sangar itu selalu mengambil tempat duduk di pojok utara menghadap
kaca yang menembus keluar. Kira-kira seumuran ayahku yang sudah meninggal dunia
dua tahun lalu. Terhampar pemandangan elok Sungai Tritis menyajikan sebagai pemuas
hati setiap orang yang menikmatinya. Sepertinya, orang yang tak kukenal namanya
itu adalah seorang pelukis atau tepatnya hobi menggambar. Rasa-rasanya, Ia telah
menguasai tempat itu seorang diri. Tak peduli
dengan pengunjung lain yang ‘mungkin’ ingin juga duduk santai di kursi rotan menghadap
ke sungai sambil menghirup pelan-pelan segelas vanila late hangat pengusir rasa sepi saat hujan deras mengguyur tanpa
ampun. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah ia memesan segelas white coffee dan sepiring kecil pisang keju,
ia pun segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang sering dia sematkan di
punggungnya. Sebuah pensil, penghapus pensil, beberapa lembar kertas putih semacam
skets book dan satu lagi yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya lebih jauh,
sebuah gelas kecil putih bening mirip cangkir kopi cafe ini. Dia selalu membiarkannya
kosong tanpa isi apapun, melihatnya lekat tanpa kata, sedikit mengangkatnya ke udara,
meletakkannya kembali ke meja, memindahkannya dari ujung meja ke ujung meja, dan
kembali menatapnya lekat, sungguh sangat lekat. Lantas dengan seriusnya ia mencoret-coret
kertas putih itu asal-asalan, kurasa, seperempat jam kemudian dengan senyuman kepuasan
yang sepertinya sangat dipaksakan, ia memandangnya dari beberapa sudut, kanan,
kiri, miring, sedikit serong dan menyamakannya dengan gelas ‘misteri’ di
depannya itu. Tak ada ekspresi lagi selainitu. Setelah itu ia melihat pergelangan
tangannya, mengamati jam tangan berwarna hitam kebiru-biruan, lantas mengemasi barang-barangnya,
meminum segelas white coffee yang kutaksir sudah dingin sedari tadi dengan
sekali tegukan, memakan beberapa buah pisang keju, segera membayar ke kasir
yang terletak di sudut depan pintu masuk bertuliskan “Open” dan langsung bergegas pergi meninggalkan cafe. Berjalan menyusuri
lorong-lorong kecil dan menghilang begitu saja ditelan kabut tipis Sungai
Tritis mangsaudan[1].
Hal itu selalu berulang-ulang setiap orang ‘aneh’ itu mengunjungi tempat
ini.
Dan
hari ini, rasa penasaranku benar-benar tak terbendung lagi. Aku akan menunggu kedatangannya. Rupanya Tuhan mengabulkan
keinginanku. Tak berapa lama kemudian, ia, orang aneh itu, datang dengan
membawa tas yang sering ia bawa. Seperti hari-hari sebelumnya, ia melakukan rutinitasnya
seperti hari-hari sebelumnya. Perlahan aku duduk di kursi kecil dekat dengan
vas bunga sekiranya aku bisa memandang kertas yang sedang dipegang dengan tangan
kirinya. Ia tampak kaget, memandangku dengan tatapan kosong dan sedikit mengubah
posisi duduknya. Tanpa memperdulikan kedatanganku, ia melanjutkan lagi berjibaku
dengan pensil dan kertas. Dan kali ini aku dianggapnya angin lalu, kesal,
apakah ia tidak tahu bahwa akulah manager di cafe ini? Sungutku dalam hati.
Aku
tetap saja tidak bergeming dari tempatku meski hal yang kuinginkan, yakni, ia,
si orang aneh itu, bertanya padaku, mungkin saja bertanya “Ada apa?” atau
“Maaf, siapa anda?” atau pertanyaan-pertanyaan yang lain. Aku merasa ini agresif,
tapi aku hanyalah seseorang yang suka berlaku demikian dengan orang yang kurasa
menimbulkan bibit ‘penasaran’ dalam hatiku. Berbeda denga hari-hari yang telah lalu,
kali ini ia duduk lebih lama dari biasanya. Hampir setengah jam. Kulihat sekilas
ia hanya menggambar gelas yang ada di atas meja itu, satu kecil dan satunya lagi
agak besar. Tak kusangka ia bangkit menyambar gelas itu, kemudian meletakkan begitu
saja beberapa lembar kertas hasil karyanya itu di atas meja, dua lembar uang
puluhan ribu, tanpa memperdulikan tas dan barang-barangnya yang lain, ia pergi tergesa-gesa.
Sebelum ia menghilang di balik pintu, ia melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku.
Deg.
Apa maksud semua itu?Aku terpana dan linglung.
Mulai
saat itu, aku tidak lagi melihatnya bertandang sore-sore ke cafe ini. Bahkan tidak
pernah lagi. Dalam hati aku bergumam, aku sepertinya merasa kehilangan.
***
Library
Cafe, 25 November 1999
Tepat
setahun aku memikirkan apa arti lambaian tangannya, apa arti senyumannya untukku.
Dan mengapa aku selama ini selalu terngiang-ngiang akan hal itu? Ah, aku sendiri
tidak tahu. Hanya saja, aku berharap akan kedatangannya, menjelaskan apa maksud
dari semua itu, membeberkan dengan lisannya sendiri di hadapanku. Sore ini aku bergegas
meninggalkan rumah, pamit Ibuku dan segera meluncur ke Cafe, sekalian aku akan mengecek
administrasi bulan ini, pikirku. Rasa-rasanya semangat ini begitu saja muncul,
padahal dua hari yang lalu aku terserang demam tinggi.
Benar
sekali dugaanku, orang aneh itu sudah berada di pojok ruangan. Berkemeja silver
kotak-kotak, bercelana jeans belel, dan sebuah topi bertengger di kepalanya. Ia
menikmati white coffee sembari melayangkan pandangan ke sekeliling sungai Tritis
dari balik kaca. Ada yang aneh, ia tak lagi membawa perkakas seperti dulu lagi.
Tak ada tas, pensil, penghapus pensil, kertas-kertas dan sebuah gelas kecil putih
bening. Ia tak membawa apa-apa. Lambeantangan
[2]
seperti ibuku menyebutnya ketika aku ke kafe tak membawa barang apapun,
meskipun untuk selembar uang ribuan.
Aku
mendekatinya, duduk di dekatnya dengan kursi terpisah.“Apakabar?”Aku memulai percakapan.
Ia tak bergeming sedikitpun, tapi sepuluh detik kemudian ia menoleh, menatapku dan
tersenyum. Kulihat ia mencari-cari sesuatu dari dalam saku kemejanya, memberiku
kertas lecek berwarna coklat keemasan, terlipat-lipat tak beraturan. Belum saja
aku menanyakan segala hal yang tidak kuketahui, ia pergi begitu saja tanpa peduli
perasaanku yang sedang berkecamuk menanyakan ini semua. Sebuah gambar gelas agak
besar dan gelas kecil bertuliskan ‘Sorry, Mother and Baby’ di bawahnya. Aku tidak
tahu sama sekali apa maksudnya itu. Berusaha
ku tepiskan saja dan setelah aku mengecek bagian administrasi keuangan, aku beranjak
pulang dan berencana menceritakannya pada Ibu.
***
Sambil
terisak Ibu mengatakannya lirih, ”Dia diminta menceraikan saya setahun setelah saya
menikah karena dia cacat, tak bisa bicara. Padahal awalnya semua keluarga setuju,
bahkan ayah yang menikahkan saya di depan para tamu”.
“Saya
tak bisa berkata-kata apapun, semua keluarga tak peduli dengan perasaan saya”. Isak
Ibu makin menjadi, dan aku sungguh tak faham dengan apa yang terjadi.
Tak
ada yang bisa kulakukan selain memeluk tubuh Ibuku. Berusaha menenangkannya meski
aku juga tak tahu harus dengan cara bagaimana.
“Nak,
maafkan Ibu karena tak menceritannya padamu. Dia pergi saat kamu masih enam bulan
di perut Ibu. Berjanji akan kembali dua puluh tahun lagi jika masih diberi kehidupan
olehTuhan, dengan sebuah gambargelas. Dan hari ini adalah tepat kedua puluh tahunnya.
Dia, orang yang memberimu kertas ini adalah ayahmu. Ayah kandungmu”.
Aku
terkejut bukan main. Degup jantungku seakan berhenti. Lalu sekelilingku terasa gelap.
###