Kamis, 19 Maret 2015

IBU, AKU INGIN BERTANYA





“Ibu, mengapa burung merpati bisa terbang tinggi sedangkan ayam tidak bisa terbang tinggi? Padahal mereka kan punya sayap semua, Bu?”. Tanya Abdullah kepada Ibunya, ia tersenyum sambil memperhatikan sekumpulan ayam yang sedang bermain dan berkeliaran di teras rumah.
“Ya, karena ukuran tubuh burung lebih kecil daripada tubuh ayam, Nak”. Jawab Ibu
“Tapi burung elang dan burung garuda badannya besar bisa terbang tinggi”. Lanjut Abdullah tidak puas dengan jawaban Ibunya.
Ibu tersenyum, mendekati Abdullah dan menatapnya dengan penuh kesayangan,”Burung elang dan burung garuda sayapnya lebih besar dan panjang daripada tubuhnya, iya kan, Dik?”.
“Iya ya, Bu. Berarti ukuran badan dan sayap itu sudah pasti sesuai ya, Bu. Pas”. Dengan gaya tos tangan, Abdullah membolak-balikkan tangan Ibu.
“Pasti sudah sesuai dengan kebutuhannya, Nak. Sayap ayam sesuai dengan badan ayam, sayap burung sesuai dengan badan burung. Nah, siapa dulu arsiteknya?”. Goda Ibu sambil tersenyum riang.
“Ar, arsitek itu apa, Bu?”. Rupanya kosakata itu asing di telinga Abdullah. Tak sabar mendengarkan jawaban Ibu, Abdullah menatap Ibu dengan tajam, penasaran.
“Nak, arsitek itu orang yang merancang atau membuat atau menciptakan. Nah, sekarang Ibu mau bertanya kepada  Adik, siapa yang menciptakan meja itu?”.
“Mmmm, (sambil berpikir) Ayah! Kemaren adik ikut membantu ayah loh”. Lonjak Abdullah girang.
“Iya benar sekali, kemarin ayah membuat meja dan kursi dengan kayu. Lalu kalau burung dan ayam, siapa yang menciptakan?”. Tanya Ibu lagi sambil tersenyum
“Mmmm, yang menciptakan ayam dan burung bukan ayah tapi Allah”. Sambil mengrenyitkan dahi, sambil mengingat-ingat sesuatu, Abdullah menjawab pertanyaan Ibu dengan wajah berseri-seri.
“Betul, Nak. Allah yang telah menciptakan burung, ayam, ikan dan hewan-hewan yang lainnya. Semua makhluk yang hidup adalah ciptaan Allah”. Ibu menjelaskan dengan penuh keyakinan.
Abdullah mangut-mangut,”Ayo, Bu. Ambil makanan ayam di dalam. Adik mau kasih makan ayam-ayam itu, pasti udah lapar ya”. Girangnya.
“Ayo, Nak. Nanti setelah ayamnya makan, adik juga makan ya”. harap Ibu sambil menggandeng tangan Abdullah masuk ke dalam rumah.
“Iya, Bu”. Abdullah menjawabnya dengan semangat dan Ibu tersenyum bahagia.
~

Pintar bicara. Di usia ini, perbendaharaan kata-kata yang diketahui anak akan bertambah mencapai 2000 kata. Sekitar 90 % aktivitas anak dalam sehari diisi dengan ngobrol, tak peduli apakah anak gagap atau tidak. anak usia ini gemar bermain kata untuk mendapatkan kalimat yang kedengarannya canggih.
Meningkatnya ketrampilan berbicara, tak lepas dari perkembangan berpikir. Sedangkan perkembangan berpikir termasuk berimajinasi, ini merupakan kegiatan yang sering dilakukan anak melalui bermain. Ketrampilan berimajinasi memungkinkan si 4 tahun ini berandai-andai dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan ajaib, seperti,”Mengapa ular tidak mempunyai kaki?”.
Si anak berharap pertanyaan yang beragam itu memperoleh jawaban dan informasi itu dapat digunakan dalam kehidupannya. Itu sebabnya, orang tua perlu memikirkan secara serius jawaban yang hendak disampaikan pada anak. Karena, anak-anak di usia ini sama sekali tidak membutuhkan jawaban yang rumit. Yang mereka perlukan adalah jawaban yang sederhana yang bisa dipahami dan mudah divisualkan oleh imajinasinya.
Semakin banyak orang dewasa di sekitarnya berbicara pada anda, maka kian banyak pula yang akan dipelajarinya. membaca buku bersama, mendampingi  anak nonton film yang menambah pengetahuan, main tebak-tebakan huruf-huruf hijaiyyah atau yang lainnya juga bisa meningkatkan ketrampilan anak berfikir. Dampaknya, anak terbiasa berbicara dengan baik dan struktur berpikir logis terbentuk. Untuk membantu memperoleh jawaban yang sesuai, orang tua dapat memanfaatkan buku dan yang lainnya. Ilmu bisa didapatkan dari mana saja, tergantung apakah kita mau mengambilnya atau tidak. ^^
Dan orang tua juga tidak perlu gengsi untuk mengatakan ‘tidak tahu’, ketimbang ‘sok tahu’. Namun begitu, jangan pernah memotong pembicaraan anak dan mengambil kesimpulan terlalu dini apa yang dimaksudkan si anak. Dengarkanlah dahulu sambil memberi tanggapan positif dan antusias. Maka si anak akan berbalik mendengarkan saat orang tua berbicara.
Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Amiin ^^
~
Selama beberapa waktu, saat saya diberi kesempatan untuk mendampingi anak-anak bermain di suatu lembaga sekolah anak-anak, banyak sekali pengalaman-pengalaman yang menakjubkan bagi saya. Dunia yang begitu indah karena tersaji dalam bentuk ketulusan hati, kepolosan dan kegembiraan. Tak terasa, mereka menjadi guru-guru saya dalam kehidupan ini. Apapun yang mereka inginkan sebenarnya apakah keinginan mereka sendiri ataukah dorongan dari lingkungan hidup mereka yang menjadikan mereka menginginkan sesuatu? Seperti, ketika di lingkungan rumah mereka kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua, teman-teman atau saudara-saudaranya, apakah mereka lantas akan menginginkan kasih sayang itu ketika di sekolah? Mungkin bisa iya, bisa juga tidak. Yang jelas, dunia mereka adalah dunia yang menakjubkan dan sayang untuk sekali-kali dilewatkan. 
~
Jogjakarta, Februari 2015
*Tentang tulisan ini, terima kasih, Kamu :)

Minggu, 22 Juni 2014

SESEORANG LAKI-LAKI DIBULAN NOVEMBER



Sepertinya, hujan sore ini memanggilku untuk datang. Langkahku terseok-seok menerobos pekatnya hujan berkabut tebal. Tak peduli. Payungku bermotif bintang kecil-kecil berwarna biru muda sudah tak menyesuaikan lagi dengan tugasnya memayungi si empunya. Aku hanya merasakan ingin bertemu seseorang. Yah, seseorang yang selalu kutunggu dalam hari-hariku. Aku akan menemuinya! Jerit hatiku.
***
Library Cafe, 25 November 1998
Dalam beberapa hari terakhir dalam bulan November ini aku memperhatikannya berkali-kali. Sedetil-detilnya penelitianku dan kuyakin penglihatanku tidaklah salah. Untuk meyakinkan dugaanku, sengaja aku juga menanyakan beberapa pegawaiku, dan jawaban mereka sama, tak ubahnya dengan apa yang aku harapkan.
Seorang laki-laki berwajah sangar itu selalu mengambil tempat duduk di pojok utara menghadap kaca yang menembus keluar. Kira-kira seumuran ayahku yang sudah meninggal dunia dua tahun lalu. Terhampar pemandangan elok Sungai Tritis menyajikan sebagai pemuas hati setiap orang yang menikmatinya. Sepertinya, orang yang tak kukenal namanya itu adalah seorang pelukis atau tepatnya hobi menggambar. Rasa-rasanya, Ia telah menguasai tempat itu seorang diri.   Tak peduli dengan pengunjung lain yang ‘mungkin’ ingin juga duduk santai di kursi rotan menghadap ke sungai sambil menghirup pelan-pelan segelas vanila late hangat pengusir rasa sepi saat hujan deras mengguyur tanpa ampun. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah ia memesan segelas white coffee dan sepiring kecil pisang keju, ia pun segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang sering dia sematkan di punggungnya. Sebuah pensil, penghapus pensil, beberapa lembar kertas putih semacam skets book dan satu lagi yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya lebih jauh, sebuah gelas kecil putih bening mirip cangkir kopi cafe ini. Dia selalu membiarkannya kosong tanpa isi apapun, melihatnya lekat tanpa kata, sedikit mengangkatnya ke udara, meletakkannya kembali ke meja, memindahkannya dari ujung meja ke ujung meja, dan kembali menatapnya lekat, sungguh sangat lekat. Lantas dengan seriusnya ia mencoret-coret kertas putih itu asal-asalan, kurasa, seperempat jam kemudian dengan senyuman kepuasan yang sepertinya sangat dipaksakan, ia memandangnya dari beberapa sudut, kanan, kiri, miring, sedikit serong dan menyamakannya dengan gelas ‘misteri’ di depannya itu. Tak ada ekspresi lagi selainitu. Setelah itu ia melihat pergelangan tangannya, mengamati jam tangan berwarna hitam kebiru-biruan, lantas mengemasi barang-barangnya, meminum segelas white coffee yang kutaksir sudah dingin sedari tadi dengan sekali tegukan, memakan beberapa buah pisang keju, segera membayar ke kasir yang terletak di sudut depan pintu masuk bertuliskan “Open” dan langsung bergegas pergi meninggalkan cafe. Berjalan menyusuri lorong-lorong kecil dan menghilang begitu saja ditelan kabut tipis Sungai Tritis mangsaudan[1]. Hal itu selalu berulang-ulang setiap orang ‘aneh’ itu mengunjungi tempat ini.
Dan hari ini, rasa penasaranku benar-benar tak terbendung lagi. Aku  akan menunggu kedatangannya. Rupanya Tuhan mengabulkan keinginanku. Tak berapa lama kemudian, ia, orang aneh itu, datang dengan membawa tas yang sering ia bawa. Seperti hari-hari sebelumnya, ia melakukan rutinitasnya seperti hari-hari sebelumnya. Perlahan aku duduk di kursi kecil dekat dengan vas bunga sekiranya aku bisa memandang kertas yang sedang dipegang dengan tangan kirinya. Ia tampak kaget, memandangku dengan tatapan kosong dan sedikit mengubah posisi duduknya. Tanpa memperdulikan kedatanganku, ia melanjutkan lagi berjibaku dengan pensil dan kertas. Dan kali ini aku dianggapnya angin lalu, kesal, apakah ia tidak tahu bahwa akulah manager di cafe ini? Sungutku dalam hati.
Aku tetap saja tidak bergeming dari tempatku meski hal yang kuinginkan, yakni, ia, si orang aneh itu, bertanya padaku, mungkin saja bertanya “Ada apa?” atau “Maaf, siapa anda?” atau pertanyaan-pertanyaan yang lain. Aku merasa ini agresif, tapi aku hanyalah seseorang yang suka berlaku demikian dengan orang yang kurasa menimbulkan bibit ‘penasaran’ dalam hatiku. Berbeda denga hari-hari yang telah lalu, kali ini ia duduk lebih lama dari biasanya. Hampir setengah jam. Kulihat sekilas ia hanya menggambar gelas yang ada di atas meja itu, satu kecil dan satunya lagi agak besar. Tak kusangka ia bangkit menyambar gelas itu, kemudian meletakkan begitu saja beberapa lembar kertas hasil karyanya itu di atas meja, dua lembar uang puluhan ribu, tanpa memperdulikan tas dan barang-barangnya yang lain, ia pergi tergesa-gesa. Sebelum ia menghilang di balik pintu, ia melambaikan tangan dan tersenyum ke arahku.
Deg. Apa maksud semua itu?Aku terpana dan linglung.
Mulai saat itu, aku tidak lagi melihatnya bertandang sore-sore ke cafe ini. Bahkan tidak pernah lagi. Dalam hati aku bergumam, aku sepertinya merasa kehilangan.
***
Library Cafe, 25 November 1999
Tepat setahun aku memikirkan apa arti lambaian tangannya, apa arti senyumannya untukku. Dan mengapa aku selama ini selalu terngiang-ngiang akan hal itu? Ah, aku sendiri tidak tahu. Hanya saja, aku berharap akan kedatangannya, menjelaskan apa maksud dari semua itu, membeberkan dengan lisannya sendiri di hadapanku. Sore ini aku bergegas meninggalkan rumah, pamit Ibuku dan segera meluncur ke Cafe, sekalian aku akan mengecek administrasi bulan ini, pikirku. Rasa-rasanya semangat ini begitu saja muncul, padahal dua hari yang lalu aku terserang demam tinggi.
Benar sekali dugaanku, orang aneh itu sudah berada di pojok ruangan. Berkemeja silver kotak-kotak, bercelana jeans belel, dan sebuah topi bertengger di kepalanya. Ia menikmati white coffee sembari melayangkan pandangan ke sekeliling sungai Tritis dari balik kaca. Ada yang aneh, ia tak lagi membawa perkakas seperti dulu lagi. Tak ada tas, pensil, penghapus pensil, kertas-kertas dan sebuah gelas kecil putih bening. Ia tak membawa apa-apa. Lambeantangan [2] seperti ibuku menyebutnya ketika aku ke kafe tak membawa barang apapun, meskipun untuk selembar uang ribuan.
Aku mendekatinya, duduk di dekatnya dengan kursi terpisah.“Apakabar?”Aku memulai percakapan. Ia tak bergeming sedikitpun, tapi sepuluh detik kemudian ia menoleh, menatapku dan tersenyum. Kulihat ia mencari-cari sesuatu dari dalam saku kemejanya, memberiku kertas lecek berwarna coklat keemasan, terlipat-lipat tak beraturan. Belum saja aku menanyakan segala hal yang tidak kuketahui, ia pergi begitu saja tanpa peduli perasaanku yang sedang berkecamuk menanyakan ini semua. Sebuah gambar gelas agak besar dan gelas kecil bertuliskan ‘Sorry, Mother and Baby’ di bawahnya. Aku tidak tahu sama sekali apa maksudnya itu.  Berusaha ku tepiskan saja dan setelah aku mengecek bagian administrasi keuangan, aku beranjak pulang dan berencana menceritakannya pada Ibu.
***
Sambil terisak Ibu mengatakannya lirih, ”Dia diminta menceraikan saya setahun setelah saya menikah karena dia cacat, tak bisa bicara. Padahal awalnya semua keluarga setuju, bahkan ayah yang menikahkan saya di depan para tamu”.
“Saya tak bisa berkata-kata apapun, semua keluarga tak peduli dengan perasaan saya”. Isak Ibu makin menjadi, dan aku sungguh tak faham dengan apa yang terjadi.
Tak ada yang bisa kulakukan selain memeluk tubuh Ibuku. Berusaha menenangkannya meski aku juga tak tahu harus dengan cara bagaimana.
“Nak, maafkan Ibu karena tak menceritannya padamu. Dia pergi saat kamu masih enam bulan di perut Ibu. Berjanji akan kembali dua puluh tahun lagi jika masih diberi kehidupan olehTuhan, dengan sebuah gambargelas. Dan hari ini adalah tepat kedua puluh tahunnya. Dia, orang yang memberimu kertas ini adalah ayahmu. Ayah kandungmu”.
Aku terkejut bukan main. Degup jantungku seakan berhenti. Lalu sekelilingku terasa gelap. ###
                                                          Yogyakarta, 22 November 2013



[1]Musimhujan
[2]Tangankosong

Rabu, 28 Mei 2014

ALQUR’AN MEMANDANG POSITIF KEMAJEMUKAN




“Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Gus Dur
 
            Ungakapan yang dicetuskan oleh KH. Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan nama Gus Dur menunjukkan makna dari Bhinneka Tunggal Ika yang sebenar-benarnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dimana di dalamnya terdapat masyarakat yang bermacam-macam ras, suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain. Oleh karena itu akan banyak perbedaan dalam menyikapinya. Adil tak harus sama, yang terpenting adalah kesesuaian dan keproposionalan hak dan kewajiban.
            Realitas sosial masyarakat Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa ketimpangan masih menjadi momok segar bagi masyarakat minoritas, diskriminasi warna kulit, kasta, kuasa dan lain-lain, terlebih antara laki-laki dan perempuan. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses untuk mengembangkan potensinya. Data-data yang menunjukkan bahwa peran perempuan masih jauh dari keberdayaan. Karena perbedaan seks dan gender menjadi pemicu terdiskriminasinya perempuan oleh laki-laki. Padahal seperti yang dituturkan Ann Oakley dalam Maggie Humm bahwa perbedaan jenis kelamin ini bersifat alamiah.
            Peran gender ini sangat terkait dengan sistem budaya dan juga stuktur sosial sebuah masyarakat. Terjadinya marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, subordinasi (penomorduaan), double burden (beban kerja berlebih), stereotype (pelabelan negatif), dan juga kekerasan berbasis gender telah menjamur di masyarakar Indonesia pada umumnya. Permasalahan-permasalahan demikian akan berdampak pada generasi-generasi setelah kita. Bahkan dewasa ini, fenomena kekerasan seksual telah marak dan seakan-akan sudah biasa dilakukannya. Lantas bagaimana masyarakat dalam suatu negara menyikapi problematika demikian?
            Diskriminasi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu diskriminasi langsung dan diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah tindakan ataupun kebijakan yang dirancang untuk memperlakukan orang lain secara berbeda. Sementara diskriminasi tidak langsung berarti tindakan atau kebijakan yang tampak netral, tetapi berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi. Adapun pembagian peran dalam melakukan kewajiban penegakan HAM dalam sebuah negara terdiri dari pemerintah yang disebut sebagai pemegang mandat (duty bearer) dan rakyat yang disebut sebagai penuntut hak (claim holder). Kejelasan pemegang peranan ini sangat penting agar pemerintah berupaya melakukan pemenuhan terhadap hak-hak warga negara dan rakyat merasa perlu untuk mengetahui hak-haknya. Negara yang tidak memiliki i’tikad baik untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi warganya boleh jadi dapat dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM.
            Oleh karena itu, jika diskriminasi masih saja semarak dan setiap orang akan berpikir seribu kali untuk menyelamatkan para korban. Dengan dalih karena berbeda agama, berbeda kasta dan lain sebagaianya. Maka bagaimana keberlangsungan generasi muda Indonesia? Padahal mereka mempunyai HAM yang otomatis toleransilah sebagai rujukan dalam hidup bermasyarakat. Dalam deklarasi kairo atau The Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) membicarakan persoalan HAM dalam perspektif Islam dan menegakkan syariat Islam sebagai sumber rujukannya. Deklarasi ini melarang segala bentuk diskriminasi berdasarkan suku bangsa, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, status sosial, dan sebagainya. Penjagaan hak-hak kehidupan manusia merupakan tugas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Deklarasi ini juga memberikan jaminan keselamatan dan keamanan kepada orang-orang yang dibebaskan dari tugas peperangan seperti orang tua, perempuan, dan anak-anak.

Alqur’an menegaskan bahwa manusia itu terdiri dari berbagai kelompok, ide heterogenitas (kemajemukan) sangat diakui. Kelompok-kelompok yang tersebar di seluruh penjuru bumi berupa kemajemukan ras, suku (kabilah), kebangsaan, warna kulit, profesi dan lain sebagainya. Sudah dijelaskan dalam alqur’an bahwa Islam sangat menjunjung tinggi pluralisme, hanya saja manusia yang menafsirkan membentuk persepsi yang berbeda-beda. Yang terkadang tidak bisa difahami dan tidak bisa ‘nemu nalar’ oleh orang lain.
            Dengan demikian, sebenarnya kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat adalah sebuah keniscayaan, kepastian sejarah (sunnatullah). Di sinilah toleransi dan kebebasan beragama menjadi sesuatau yang patut dihargai. Keragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan realitas yang tak terbantahkan. Secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai macam etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kondisi ini harus dimenej dengan baik. Salah satu yang penting dalam ranah pluralitas adalah sesuatu yang terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat. Pluralitas agama sangat mewarnai sejarah kehidupan, sosial, tidak terkecuali masyarakat kontemporer. Baik dalam skala kecil maupun skala besar. Terutama pada negara-negara yang sangat mengedepankan religiusitas. Keragaman agama, sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa juga dipahami dalam satu perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun kehidupan bersama. Keunikan-keunikan ini bukanlah sebagai ancaman terhadap pemeluk agama yang satu terhadap eksistensi agam yang lainnya, melainkan akan lebih memperjelas keunikan sendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi identitas pribadinya sekaligus kesucian agamanya.
            Seperti pengalaman yang dialami seorang teman, sebut saja dia Yuni, mahasiswi salah satu Universitas di Yogyakarta. Dia seorang bidan, pada waktu KKN di daerah terpencil, bersama tujuh orang temannya yang dua diantaranya adalah non muslim. Serumah dengan orang yang berbeda keyakinan sering membuat perbedaan-perbedaan otomatis muncul. Untuk hal sepele seperti mengantri kamar mandi pada waktu-waktu menjelang shalat, tak segan-segan mereka mempersilahkan untuk berwudhu dahulu. Jika perlakuan mereka yang penuh toleransi seperti itu tak dibalas dengan toleransi pula, apakah disebut sebagai saling menghargai? Sedangkan keselarasan suatu kelompok akan tercipta jika rasa saling menghargai dijunjung tinggi. 

Yogyakarta, 27 Mei 2014