Rabu, 28 Mei 2014

ALQUR’AN MEMANDANG POSITIF KEMAJEMUKAN




“Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Gus Dur
 
            Ungakapan yang dicetuskan oleh KH. Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan nama Gus Dur menunjukkan makna dari Bhinneka Tunggal Ika yang sebenar-benarnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, dimana di dalamnya terdapat masyarakat yang bermacam-macam ras, suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain. Oleh karena itu akan banyak perbedaan dalam menyikapinya. Adil tak harus sama, yang terpenting adalah kesesuaian dan keproposionalan hak dan kewajiban.
            Realitas sosial masyarakat Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa ketimpangan masih menjadi momok segar bagi masyarakat minoritas, diskriminasi warna kulit, kasta, kuasa dan lain-lain, terlebih antara laki-laki dan perempuan. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses untuk mengembangkan potensinya. Data-data yang menunjukkan bahwa peran perempuan masih jauh dari keberdayaan. Karena perbedaan seks dan gender menjadi pemicu terdiskriminasinya perempuan oleh laki-laki. Padahal seperti yang dituturkan Ann Oakley dalam Maggie Humm bahwa perbedaan jenis kelamin ini bersifat alamiah.
            Peran gender ini sangat terkait dengan sistem budaya dan juga stuktur sosial sebuah masyarakat. Terjadinya marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, subordinasi (penomorduaan), double burden (beban kerja berlebih), stereotype (pelabelan negatif), dan juga kekerasan berbasis gender telah menjamur di masyarakar Indonesia pada umumnya. Permasalahan-permasalahan demikian akan berdampak pada generasi-generasi setelah kita. Bahkan dewasa ini, fenomena kekerasan seksual telah marak dan seakan-akan sudah biasa dilakukannya. Lantas bagaimana masyarakat dalam suatu negara menyikapi problematika demikian?
            Diskriminasi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu diskriminasi langsung dan diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah tindakan ataupun kebijakan yang dirancang untuk memperlakukan orang lain secara berbeda. Sementara diskriminasi tidak langsung berarti tindakan atau kebijakan yang tampak netral, tetapi berdampak pada munculnya tindakan diskriminasi. Adapun pembagian peran dalam melakukan kewajiban penegakan HAM dalam sebuah negara terdiri dari pemerintah yang disebut sebagai pemegang mandat (duty bearer) dan rakyat yang disebut sebagai penuntut hak (claim holder). Kejelasan pemegang peranan ini sangat penting agar pemerintah berupaya melakukan pemenuhan terhadap hak-hak warga negara dan rakyat merasa perlu untuk mengetahui hak-haknya. Negara yang tidak memiliki i’tikad baik untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi warganya boleh jadi dapat dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM.
            Oleh karena itu, jika diskriminasi masih saja semarak dan setiap orang akan berpikir seribu kali untuk menyelamatkan para korban. Dengan dalih karena berbeda agama, berbeda kasta dan lain sebagaianya. Maka bagaimana keberlangsungan generasi muda Indonesia? Padahal mereka mempunyai HAM yang otomatis toleransilah sebagai rujukan dalam hidup bermasyarakat. Dalam deklarasi kairo atau The Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) membicarakan persoalan HAM dalam perspektif Islam dan menegakkan syariat Islam sebagai sumber rujukannya. Deklarasi ini melarang segala bentuk diskriminasi berdasarkan suku bangsa, warna kulit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, status sosial, dan sebagainya. Penjagaan hak-hak kehidupan manusia merupakan tugas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Deklarasi ini juga memberikan jaminan keselamatan dan keamanan kepada orang-orang yang dibebaskan dari tugas peperangan seperti orang tua, perempuan, dan anak-anak.

Alqur’an menegaskan bahwa manusia itu terdiri dari berbagai kelompok, ide heterogenitas (kemajemukan) sangat diakui. Kelompok-kelompok yang tersebar di seluruh penjuru bumi berupa kemajemukan ras, suku (kabilah), kebangsaan, warna kulit, profesi dan lain sebagainya. Sudah dijelaskan dalam alqur’an bahwa Islam sangat menjunjung tinggi pluralisme, hanya saja manusia yang menafsirkan membentuk persepsi yang berbeda-beda. Yang terkadang tidak bisa difahami dan tidak bisa ‘nemu nalar’ oleh orang lain.
            Dengan demikian, sebenarnya kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat adalah sebuah keniscayaan, kepastian sejarah (sunnatullah). Di sinilah toleransi dan kebebasan beragama menjadi sesuatau yang patut dihargai. Keragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan realitas yang tak terbantahkan. Secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai macam etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kondisi ini harus dimenej dengan baik. Salah satu yang penting dalam ranah pluralitas adalah sesuatu yang terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat. Pluralitas agama sangat mewarnai sejarah kehidupan, sosial, tidak terkecuali masyarakat kontemporer. Baik dalam skala kecil maupun skala besar. Terutama pada negara-negara yang sangat mengedepankan religiusitas. Keragaman agama, sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa juga dipahami dalam satu perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun kehidupan bersama. Keunikan-keunikan ini bukanlah sebagai ancaman terhadap pemeluk agama yang satu terhadap eksistensi agam yang lainnya, melainkan akan lebih memperjelas keunikan sendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya menjadi identitas pribadinya sekaligus kesucian agamanya.
            Seperti pengalaman yang dialami seorang teman, sebut saja dia Yuni, mahasiswi salah satu Universitas di Yogyakarta. Dia seorang bidan, pada waktu KKN di daerah terpencil, bersama tujuh orang temannya yang dua diantaranya adalah non muslim. Serumah dengan orang yang berbeda keyakinan sering membuat perbedaan-perbedaan otomatis muncul. Untuk hal sepele seperti mengantri kamar mandi pada waktu-waktu menjelang shalat, tak segan-segan mereka mempersilahkan untuk berwudhu dahulu. Jika perlakuan mereka yang penuh toleransi seperti itu tak dibalas dengan toleransi pula, apakah disebut sebagai saling menghargai? Sedangkan keselarasan suatu kelompok akan tercipta jika rasa saling menghargai dijunjung tinggi. 

Yogyakarta, 27 Mei 2014
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar