Bagiku,
perbedaan itu seperti sebuah keinginan. Dan keinginan seperti aneka macam
warna. Terima kasih yang seperti apa kepada Dzat yang menciptakan segalanya,
yang memberikan segala macam apapun yang dapat dirasa oleh manusia. ‘Rasa’ itu
aneh. Anehnya minta ampun, aku tak mengerti sejatinya rasa itu bagaimana bentuk
sebenarnya. Karena kita merasakan maka ada perbedaan. Seseorang menanyakan
tentang ‘perbedaan’ kepadaku. Sekilas yang pernah kudengar dari orang-orang
ketika membicarakan perbedaan adalah, perbedaan adalah anugrah, perbedaan tidak
bisa dijadikan penghalang untuk kita bersama, perbedaan itu indah, perbedaan
adalah persatuan, misalnya, yang akhirnya akan muncul Bhinneka tunggal ika,
sebuah semboyan negara, yaitu negara Indonesia. Negara maritim, negara subur
yang berbeda-beda suku bangsa, bahasa, budaya, adat istiadat. Lain lubuk lain
pula belalang. Bukankah itu inti sari dari sebuah kata perbedaan?
Bagiku, perbedaan seperti sebuah
keinginan. Dan keinginan seperti aneka macam warna. Seorang teman pernah
tiba-tiba saja bertanya, “mengapa aku berbeda dengan yang lain?”, aku menjawab,
berbeda tentang apa?, dia menukas, “dia bertanggung jawab, dia mampu
menyelesaikan, dia ulet, dia rajin dia, dia, dia...”. lantas aku hanya
tersenyum, dia berkomentar,”mengapa kau hanya tersenyum?”, aku menambahkan senyumku
lagi. Dia sewot, merasa diabaikan olehku. “Aku pergi, sepertinya sedang tak
ngeh mendengarkan ulasanku”. Lantas dia benar-benar pergi. Dan lagi-lagi aku
hanya tersenyum sambil bicara dalam bathin, semoga temanku tercapai apa-apa
yang diinginkannya.
Bagiku, perbedaan seperti sebuah
keinginan. Dan keinginan seperti aneka macam warna. Aku suka warna coklat tua,
merah tua, hitam dan putih. Segala apa yang berwarna dengan 4 warna di atas,
kurasa bagus. Tapi warna pink, biru dongker, orange bata, kuning kunyit, hijau
tosca, abu-abu, silver, terkadang violet juga cocok di hatiku. Itulah
keinginan, karena aku dimampukan oleh_Nya melihat beraneka macam warna. Apakah
sama dengan seorang teman yang, maaf, rabun, baginya warna hanyalah hitam dan
putih. Aku sudah berkali-kali menjelaskan, ini warna merah, merah itu seperti
darah, seperti salah satu jenis bunga mawar, seperti warna lipstik ibumu,
seperti salah satu warna bunga sepatu. Dia bilang, apakah merah itu seperti
warna bajuku saat ini?, aku jawab ya, itu sangat betul. Baju yang kukenakan ini
bukannya berwarna hitam ya? Padahal itu benar-benar berwarna merah. Lagi-lagi
aku hanya tersenyum. Dia tidak marah, karena dia ikut tersenyum juga.
Alhamdulillah, hatiku lega.
Bagiku, perbedaan itu seperti sebuah keinginan.
Dan keinginan seperti aneka macam warna. Suatu saat, aku pernah bertemu dengan
seseorang yang luar biasa, dia tunanetra. Setelah ngobrol panjang lebar, agak
lama, tentang pengalaman-pengalaman hidup. Aku memberanikan diri untuk
bertanya, apakah kamu pernah merasa bosan dengan keadaanmu? Maaf, aku tanya
demikian. Khawatir akan menyinggungnya, dia tersenyum sambil berucap,”Kurasa
pertanyaanmu muncul karena ada suatu hal, apa itu? Apakah sebuah perbedaan?”.
Aku tersenyum mendengarnya, dia melanjutkan,”Entah mulai kapan aku merasa
seperti ini, dari lahir, aku tak pernah tau seperti apa dunia, sedangkan aku
berada di dalamnya, ibuku pernah menjelaskan, waktu itu malam hari, nak,
sekarang waktu sudah malam, sebentar lagi akan muncul bintang-bintang, bulan, suara
jangkrik mengerik, kodok-kodok di sungai tak kalah membunyikan suaranya, udara
akan terasa semakin dingin. Aku mangut-mangut, seperti apa keadaan saat itu ya?
apakah berbeda dengan waktu siang yang pernah dijelaskan ibuku waktu mengajakku
keluar untuk membeli sebuah obat di apotik, di sisi kanan-kiriku terdengar
lebih berisik dan ramai, banyak suara-suara yang kudengar, orang-orang lebih
banyak yang berbicara. Sebelum ibu menjelaskan, aku bingung dengan keadaan saat
itu. Bagiku dunia adalah ini, seperti ini, seperti yang kulihat, seperti yang
kurasa, seperti inilah dunia. Mau pergi kemana jika suatu waktu bosan dengan
keadaan, sedangkan duniaku seperti ini, tidak seperti yang kau lihat. Benar
kata ibu, simpanlah dihatimu satu nama, satu keyakinan, satu kepastian, bahwa
semua bukan atas kehendak diri sendiri melainkan kehendak Sang Pencipta, aku,
ada yang menciptakan, seperti ini. Dan kamu, ada yang menciptakan, seperti itu.
Jika itu yang membuatmu bosan, maka mengadulah. Dia tak segan-segan membantu,
menolong, dan melindungimu. Aku harus percaya itu, mutlaq. Jika tidak maka aku
tidak ada gunanya di dunia ini.” Dia menyudahi sambil tersenyum, dan aku tak
tahan mendengar ceritanya, menangis. Dia bilang, kau menangis? Aku mengangguk,
menagislah kawan, lanjutnya.
Bagiku, perbedaan itu seperti sebuah keinginan.
Dan keinginan seperti aneka macam warna. Perbedaan adalah perbedaan, tetapi
bukan suatu perbedaan meski itu berbeda. Kau dan aku, berbeda. Kau laki-laki
dan aku perempuan. Khilqohnya diciptakan berbeda oleh_Nya, aku diberi ini itu,
sedangkan kamu tidak, kamu diberi ini itu, sedangkan aku tidak. Apakah aku
harus mengadu karena perbedaan itu, sedangkan aku merasa nyaman dengan aku yang
seperti ini. Itu fitrah. Hal-hal yang tidak bisa dirubah oleh diri sendiri.
Apakah mungkin, dulu sebelum aku dilahirkan ibuku, aku bilang pada_Nya, jadikan
aku seorang wanita, biar aku cantik, biar aku bisa menjadi ini, itu dan lain
sebagainya. Ataupun permintaan menjadi seorang laki-laki biar aku bisa begini,
biar aku bisa begitu, biar aku tampan, biar aku menikah dengan wanita, biar aku
menjadi mujahid_Mu, dan lain sebagainya. Kuasa_nya yang menjadikan itu semua.
Kita tak ada campur tangan. Keinginan adalah nafsu, sedangkan hidup adalah
seperti yang sudah ditentukan oleh_Nya, maka ketika tak sesuai dengan
keinginan, pantaskah menyalahkan_Nya?
Bagiku, perbedaan itu seperti sebuah keinginan.
Dan keinginan seperti aneka macam warna. Dalam diam ada sangat banyak sekali
keinginan yang ingin kuutarakan, kepada siapapun pun kepada apapun. Hampir-hampir lupa jika disuruh untuk
menyebutkan semua keinginanku sendiri, saking banyaknya. Tapi, seperti yang
pernah dibilang salah seorang, kebutuhanmu tak seperti keinginanmu. Jadi,
bersabarlah. Tak selalu sebuah keinginan itu mesti tercapai, tak selalu
keinginan itu baik untukmu, tak selalu keinginan itu mampu kau wujudkan. Karena
Allah Maha Tahu apa-apa yang kamu butuhkan. Aku hanya terdiam mendengarkannya,
tak ada respon. Saat aku ingin makan, padahal waktu itu aku sudah kenyang. Saat
aku ingin tidur, padahal waktu itu aku tidak mengantuk, bukan waktunya tidur,
bahkan bukan tempatnya tidur. Saat aku ingin membagi waktuku untuk pergi,
kondisi tidak mengizinkan. Dan saat-saat yang lain, segala apapun “terkadang”
bukan begitu kenyataannya. Kecuali, keinginan, maaf, qadhil hajat, itulah
keinginan yang paling jujur yang diberikan oleh Allah kepada makhluq_Nya.
Bagiku, perbedaan itu seperti sebuah keinginan.
Dan keinginan seperti aneka macam warna. Tidak ada perbedaan di hadapan Allah
kecuali ketaqwaannya. Lantas mengapa kita membeda-bedakan dengan yang lain selagi
di muka bumi? Jurus diatas bukan aku yang membuatnya, kata seorang guru bagiku.
Bukan pula orang-orang zaman dulu, melainkan sudah diterangkan dalam firman-firman_Nya.
Tapi Ya Allah, nafsu ini, hati ini sering membeda-bedakan makhluq_Mu, sambutku
lirih mengadu. Aku teringat, waktu itu aku melihat di youtube, video seorang
Kiyai dari Rembang, KH Musthafa Bisri, Gus Mus begitu orang-orang menyebut
beliau. Sedang membacakan sebuah cerpen karyanya, berjudul Gus Ja’far. Mungkin
setiap orang yang mendengarnya akan sedikit terhening memikirkan jalan dan isi
cerpen itu, lantas akan mengangguk-angguk.
Muncul dalam benak hatiku, bahwa yang jurus di atas bukan hanya
main-main. Mutlaq, itu haq.
Bagiku, perbedaan itu seperti sebuah keinginan.
Dan keinginan seperti aneka macam warna. Karena ada toleransi, saling
menghargai, saling membantu, saling menolong, rendah hati, andhap ashor, tepo
sliro, dan sifat-sifat lain yang sudah dicontohkan oleh Nabiyullah. Itu adalah
sebuah pelajaran yang berharga bagi ummat manusia. Tinggal keinginan yang
seperti apa yang ada di hati ini. Wallahu a’lam bisshawab.
Masih banyak ungkapan-ungkapan yang lain...
mantab... :)
BalasHapusTerima kasih rama rahma :)
BalasHapus