“Tidak
penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik
untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Gus Dur
Ungakapan yang dicetuskan oleh KH.
Abdurrahman Wahid, yang terkenal dengan nama Gus Dur menunjukkan makna dari
Bhinneka Tunggal Ika yang sebenar-benarnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
majemuk, dimana di dalamnya terdapat masyarakat yang bermacam-macam ras, suku,
budaya, adat istiadat, bahasa, dan lain-lain. Oleh karena itu akan banyak
perbedaan dalam menyikapinya. Adil tak harus sama, yang terpenting adalah
kesesuaian dan keproposionalan hak dan kewajiban.
Realitas sosial masyarakat Indonesia
dihadapkan pada kenyataan bahwa ketimpangan masih menjadi momok segar bagi
masyarakat minoritas, diskriminasi warna kulit, kasta, kuasa dan lain-lain,
terlebih antara laki-laki dan perempuan. Masih sedikit sekali perempuan yang
mendapat akses untuk mengembangkan potensinya. Data-data yang menunjukkan
bahwa peran perempuan masih jauh dari keberdayaan. Karena perbedaan seks dan
gender menjadi pemicu terdiskriminasinya perempuan oleh laki-laki. Padahal
seperti yang dituturkan Ann Oakley dalam Maggie Humm bahwa perbedaan jenis
kelamin ini bersifat alamiah.
Peran gender ini sangat terkait
dengan sistem budaya dan juga stuktur sosial sebuah masyarakat. Terjadinya
marjinalisasi (peminggiran) ekonomi, subordinasi (penomorduaan), double burden
(beban kerja berlebih), stereotype (pelabelan negatif), dan juga kekerasan
berbasis gender telah menjamur di masyarakar Indonesia pada umumnya.
Permasalahan-permasalahan demikian akan berdampak pada generasi-generasi
setelah kita. Bahkan dewasa ini, fenomena kekerasan seksual telah marak dan
seakan-akan sudah biasa dilakukannya. Lantas bagaimana masyarakat dalam suatu
negara menyikapi problematika demikian?
Diskriminasi terbagi menjadi dua
bentuk, yaitu diskriminasi langsung dan diskriminasi tidak langsung.
Diskriminasi langsung adalah tindakan ataupun kebijakan yang dirancang untuk
memperlakukan orang lain secara berbeda. Sementara diskriminasi tidak langsung
berarti tindakan atau kebijakan yang tampak netral, tetapi berdampak pada
munculnya tindakan diskriminasi. Adapun pembagian peran dalam melakukan
kewajiban penegakan HAM dalam sebuah negara terdiri dari pemerintah yang
disebut sebagai pemegang mandat (duty bearer) dan rakyat yang disebut sebagai
penuntut hak (claim holder). Kejelasan pemegang peranan ini sangat penting agar
pemerintah berupaya melakukan pemenuhan terhadap hak-hak warga negara dan
rakyat merasa perlu untuk mengetahui hak-haknya. Negara yang tidak memiliki
i’tikad baik untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi warganya boleh jadi
dapat dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, jika diskriminasi
masih saja semarak dan setiap orang akan berpikir seribu kali untuk
menyelamatkan para korban. Dengan dalih karena berbeda agama, berbeda kasta dan
lain sebagaianya. Maka bagaimana keberlangsungan generasi muda Indonesia? Padahal
mereka mempunyai HAM yang otomatis toleransilah sebagai rujukan dalam hidup
bermasyarakat. Dalam deklarasi kairo atau The Cairo Declaration of Human
Rights in Islam (CDHRI) membicarakan persoalan HAM dalam perspektif Islam
dan menegakkan syariat Islam sebagai sumber rujukannya. Deklarasi ini melarang
segala bentuk diskriminasi berdasarkan suku bangsa, warna kulit, bahasa,
kepercayaan, jenis kelamin, agama, afiliasi politik, status sosial, dan
sebagainya. Penjagaan hak-hak kehidupan manusia merupakan tugas yang telah
ditetapkan oleh syariat Islam. Deklarasi ini juga memberikan jaminan
keselamatan dan keamanan kepada orang-orang yang dibebaskan dari tugas
peperangan seperti orang tua, perempuan, dan anak-anak.
Alqur’an menegaskan bahwa manusia
itu terdiri dari berbagai kelompok, ide heterogenitas (kemajemukan) sangat
diakui. Kelompok-kelompok yang tersebar di seluruh penjuru bumi berupa
kemajemukan ras, suku (kabilah), kebangsaan, warna kulit, profesi dan lain
sebagainya. Sudah dijelaskan dalam alqur’an bahwa Islam sangat menjunjung
tinggi pluralisme, hanya saja manusia yang menafsirkan membentuk persepsi yang
berbeda-beda. Yang terkadang tidak bisa difahami dan tidak bisa ‘nemu nalar’
oleh orang lain.
Dengan demikian, sebenarnya kemajemukan
yang terdapat dalam kehidupan manusia dan masyarakat adalah sebuah keniscayaan,
kepastian sejarah (sunnatullah). Di sinilah toleransi dan kebebasan beragama
menjadi sesuatau yang patut dihargai. Keragaman, keunikan, dan parsial itu merupakan
realitas yang tak terbantahkan. Secara sosiologis, manusia terdiri dari
berbagai macam etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikat dirinya antara
satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kondisi ini harus dimenej dengan
baik. Salah satu yang penting dalam ranah pluralitas adalah sesuatu yang
terkait dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat. Pluralitas
agama sangat mewarnai sejarah kehidupan, sosial, tidak terkecuali masyarakat
kontemporer. Baik dalam skala kecil maupun skala besar. Terutama pada
negara-negara yang sangat mengedepankan religiusitas. Keragaman agama,
sebagaimana keragaman etnisitas suku dan bangsa juga dipahami dalam satu
perspektif kemanusiaan yang hidup berdampingan dengan kekhasannya membangun
kehidupan bersama. Keunikan-keunikan ini bukanlah sebagai ancaman terhadap
pemeluk agama yang satu terhadap eksistensi agam yang lainnya, melainkan akan
lebih memperjelas keunikan sendiri. Agama yang dianut oleh seorang pemeluknya
menjadi identitas pribadinya sekaligus kesucian agamanya.
Seperti pengalaman yang dialami
seorang teman, sebut saja dia Yuni, mahasiswi salah satu Universitas di
Yogyakarta. Dia seorang bidan, pada waktu KKN di daerah terpencil, bersama
tujuh orang temannya yang dua diantaranya adalah non muslim. Serumah dengan
orang yang berbeda keyakinan sering membuat perbedaan-perbedaan otomatis
muncul. Untuk hal sepele seperti mengantri kamar mandi pada waktu-waktu
menjelang shalat, tak segan-segan mereka mempersilahkan untuk berwudhu dahulu.
Jika perlakuan mereka yang penuh toleransi seperti itu tak dibalas dengan
toleransi pula, apakah disebut sebagai saling menghargai? Sedangkan keselarasan
suatu kelompok akan tercipta jika rasa saling menghargai dijunjung tinggi.
Yogyakarta, 27 Mei 2014