Dibalik
kacamata hitamnya, lelaki itu setiap pagi menatapku, di wajahnya terdapat luka
bakar yang begitu menakutkan setiap orang memandangnya. Itu terjadi ketika aku
keluar dari rumah untuk mengantarkan anakku, Septianingsih, untuk sekolah di SD
HARAPAN tak jauh dari kontrakanku. Kudengar dari Sari, tetangga sebelah,
laki-laki itu bernama Sapto, selalu berkacamata hitam, dia pindahan dari Sumatra,
katanya sih orang stress, baru ditinggal mati istri dan anaknya. Itu saja yang
kudapatkan dari Sari. Entah kenapa,
terkadang aku begitu ingin menanyakan asal-usulnya. Tapi tak ada
orang-orang yang benar-benar tau identitasnya.
Kurasa, sudah sebulan keberadaan
Sapto di rumah kontrakan depan yang pintunya menghadap tepat ke pintu rumah
kontrakanku, selama itulah penghuni rumah itu selalu memperhatikan
gerak-gerikku. Aku yang memperbaiki kerudung Septi, sembari mengatakan
“Hati-hati ya sayang, jalannya lewat pinggir, belajar yang rajin ya nak”,
lantas kemudian Septi mencium tanganku sambil berucap renyah,”Iya ma, nanti
mama masak sup jamur ya”. Aku mengangguk dan tersenyum melihat Septi berlarian
kecil kenuju sekolahnya. Anehnya, setelah aku bergegas masuk rumah, dia, si
Sapto, pun segera masuk rumah, menutup pintu dan hal seperti itu selalu
berulang-ulang setiap harinya.
Semenjak
ada penghuni baru di rumah kontrakan depan, hidupku terasa tidak lagi seperti
biasanya. Sekarang aku merasa ada seseorang mencampuri hidupku, menyelidikku
seperti buronan, menganggapku teroris. Ah, jangan-jangan dia, si Sapto, seorang
polisi yang menyamar. Mau menangkapku. Ahh, dugaan di pikiranku terlalu berbelit-belit.
***
“Mbak,
tidak harus di Jogja. Luar kota asalkan tak lebih dari tiga hari, aku bersedia.
Tapi...”.
“Tapi
apa?” matanya sedikit terpejam.
Tak
langsung kujawab, sekedar menampakkan intimitas pada bosku yang galak itu, aku
mengerlingkan mataku sebagai jawabannya.
“Oke,
beres Ti. Itu tak jadi masalah. Deal, besok tepat jam tujuh pagi kau sudah
harus chek in, kutunggu di pintu bandara dan ini tiketnya”. Puas.
“Kau
tidak memikirkan anakku?”. Protesku.
“Tenang
saja, dalam tiga hari kedepan, aku sudah menyewa seorang pembantu untuk
mengurusi segala keperluan anakmu. Kuyakin bibimu itu tak becus jika sendirian.
Aku memang tak pernah punya seorang anak, tapi aku bukan wanita yang kejam!”.
Senyumnya parau.
Hhhhh,
aku menghela nafas, yah, kau tak pernah mengerti arti kata ‘Ibu’ bagi seorang
anak. Ingatanku melayang enam tahun yang lalu, di Medan, tempat kelahiranku, saat Septi masih dua bulan didalam kandungan,
kepahitan dalam hidupku yang membuatku menjadi seperti sekarang ini. Suamiku,
Mas Aryo, dan ibuku mendatangiku secara bersamaan. Aku tak pernah menyangka
sebelumnya, tak pernah. Ibuku memintaku melepas Mas Aryo, memohon-mohon dengan
tangisan yang aku sendiri tak pernah melihat ibuku menangis seperti itu. Tak
habis pikir, seorang ibu yang seharusnya bahagia melihat anak semata wayangnya
bahagia, yang seharusnya juga bahagia karena sebentar lagi akan menimang cucu,
karena sebentar lagi rumah ini bakalan ramai oleh suara-suara mungil anak
kecil, mengapa tanpa ada sebab musabab, ibuku berkata demikian? Kulihat Mas
Aryo hanya diam saja saat kumintai penjelasan mengapa ibu bersikap demikian.
Dia hanya bilang, “Ti, apakah kau akan durhaka pada ibumu yang telah
melahirkanmu dengan tidak memenuhi permintaannya?’. Deegg! Mengapa Mas Aryo
membela ibuku? Apa yang sebenarnya terjadi?. Aku hanya bisa menangis setiap
hari, sendiri. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihat ibu maupun Mas Aryo.
Mereka berdua tak pernah pulang ke rumah. Mereka tega meninggalkan aku sendiri.
Dengan kandunganku yang semakin besar, setiap hari aku hanya bertandang ke
makam ayah, mengadu pada ayah, bercerita pada ayah. Semua orang desa
menganggapku gila, Warti sudah gila, terkecuali bibiku. Dia merawatku dengan
sabar, tak peduli orang kampung berkata apapun, menggunjingku dengan sebutan
apapun. Bibiku yang tak bisa bicara, pendengarannya pun tak berfungsi normal,
jari-jari tangannya yang tak sempurna seperti kebanyakan orang, acap kali
dijauhi semua keluarganya karena dianggap sebagai kesialan. Dialah yang selalu
menemaniku setelah tau aku sendirian di rumah. Tak banyak yang dia lakukan di
rumah, hanya menjerang air setiap pagi dan sore, sesekali menyirami bunga di
depan rumah dan menyapu lantai. Itu saja. Tapi aku tak tau harus berterima
kasih dengan cara apa pada bibiku. Laiknya seorang ibu, hanya dia yang merasa
gembira atas kelahiran anakku. Seperti cucunya sendiri. Lima bulan setelah
anakku lahir, tabunganku semakin menipis. Aku harus bekerja. Merantau. Tak ada
pilihan lain. Aku tak peduli lagi dengn suamiku, ah, apa pula dia masih
suamiku. Aku pikir dia sudah mati.
Air
mataku menetes mengingat kejadian itu.
“Hey
Ti, kenapa kamu? Udahlah, wanita sepertimu sudah tak pantas lagi menangisi
keadaan. Paham kau!”. Mbak Ros, bosku, menggertakku dengan mata tajam.
Aku
berlalu begitu saja dari hadapannya. Sial! Tak ada yang pernah mengerti!. Lima
tahun sudah aku berada di kota gudeg ini, Jogja dengan segala budaya dan
inspirasinya. Aku tau, kesedihan yang selalu bertubi-tubi menimpaku tak ayal
juga menimpa orang lain, begitu berat dan sulit. Tapi waktu sangat berbaik hati
mengobatinya meski terkadang tak sekalipun aku berbaik hati pada waktu. Hidup
dengan kehidupanku sendiri. Dua orang yang sangat berarti bagi hidupku, bibi
dan Septi, anakku. Tak lebih.
***
Tak
peduli apakah Tuhan masih berbaik hati padaku atau tidak, yang jelas aku hanya
meminta Dia tak kan sia-siakan anakku dan bibiku, biarlah hanya aku yang
menjadi sampah, kotor dan menjijikkan. Setahun yang lalu, aku bertemu Mas Aryo
dan ibuku bergandengan tangan, masuk salah satu mall di jogja, yang benar-benar
membuatku kaget, ibuku sedang hamil. Tanpa pikir panjang, aku mendekati mereka
dan menanyakan apa maksudnya. Seperti halilintar menyambarku di siang bolong,
ibuku bilang,”Warti, ini adikmu!”. Sambil mengelus perutnya, tersenyum-senyum.
Aku mengerutkan dahi memandang Mas Aryo,”Dan...?”. Sahutku, penuh amarah. “Ya,
sekarang dia suamiku! Dia ayah tirimu! Sudah kubilang kau harus melepaskan
dia”. Limbung dan entah, dunia ini begitu gelap.
Itulah
awal mula perkenalanku dengan Mbak Ros, bosku saat ini, saat dimana seorang ibu
tega menghianati anaknya sendiri, suami menghianati istrinya sendiri. Apakah
aku harus menerima perlakuan mereka? Apakah aku harus percaya pada Tuhan yang
mengatur semua yang ada di bumi ini? Apakah aku harus bertahan hidup?
Aaaaarrrgggghhhh... Aku sudah tidak sanggup lagi, tidak ada gunanya lagi
kehidupan ini, untuk apa?
“Mbak,
dunia ini begitu kejam, hidup ini teka-teki, kau masih punya anak dan satu
orang yang sangat menyayangimu. Dan mulai sekarang pula aku adalah temanmu”.
Lamat-lamat ku dengar suara seorang wanita disampingku. Sembari menahan pusing
di kepalaku, aku melihat Mbak Ros memegangi tanganku di rumah sakit. Mbak Ros,
yang kata orang, sebutannya adalah Mami, sering mengajak gigolo ke rumah
kontrakannya di jalan pasar kembang. Dia kaya, dengan uang-uangnya, dia
mengajak wanita-wanita susah untuk menjadi pengikutnya. Bulu kudukku merinding
menatap bibirnya yang merah dengan gincu kelas Lady Gaga itu. “Bersabarlah, kau
tak sendirian”. Lanjutnya dengan senyuman yang hampir muntah aku melihatnya,
fiuuuhh, bersabar???
Setelah
aku diantar pulang, Mbak Ros meninggalkan nomor telpon, dia bilang,
sewaktu-waktu membutuhkan, aku bisa menghubunginya. Aku linglung. Terfikirkan
olehku Septi dan bibi. Mereka menghiasi otakku.
Mulai
saat itulah, aku menganggap Mbak Ros adalah bosku. Aku sudah mati rasa, tak ada
laki-laki satupun yang baik di dunia ini. Mereka semua bejat! Wanita sebagai
pemuas nafsunya. Setelah itu, buang. Apakah aku juga harus menganggap seorang
ibu demikian? Hanya melahirkan untuk meninggalkannya? Aku sendiri tak memahami ibuku sendiri,
apakah kemarahanku pada ibu menjadikanku anak durhaka? Ah, apapun macam dosa
itu, aku sudah kotor. Aku sudah bergelimang dosa. Aku hanya berdo’a, tak akan
terjadi hal semacam ini pada anakku. Begitu sakit dan sakit.
Do’a.
Aku sendiri tak tau. Semenjak kapan aku berdo’a. Aku hanya selalu bilang pada
anakku,”Septi, do’akan mama ya”. Entah
do’a seperti apa yang aku minta pada anakku. Dengan anggukannya yang khas,
Septi hanya bilang,”Iya ma”. Hanya kata-kata itulah yang mampu membuat hatiku
tenang.
***
Lagi-lagi lelaki aneh menatap ke
arah rumahku, kali ini tak lagi setiap pagi. Sore pun dia keluar rumah,
menonton televisi hidup di depan rumahnya. Apakah tidak ada kerjaan selain
memandang keseharianku? Sudah tau sekarang apa pekerjaanku. Setiap hari, setiap
jam sembilan pagi, laki-laki yang berbeda-beda, pergi dengan mobil
berbeda-beda, pulang menjelang tengah malam dengan gaun yang berbeda-beda,
sandal yang berbeda-beda pula. Puas?! Telah menyelidik kehidupan pribadiku di
balik kacamata hitammu yang menyeramkan itu? Ingin aku mendampratnya sesegera
mungkin. Seorang intelkah dia? Terkadang perasaan takut menyergapku. Sudah
kuputuskan! Aku akan mendatanginya nanti malam. Kuajak Sari sebagai saksinya.
Menjelang jam sembilan malam
kudatangi rumah kontrakannya bersama Sari. Sepi. Lampu-lampu tak dinyalakan.
Dan pintu terkunci. Tiba-tiba aku khawatir, kemanakah dia. Kudobrak pintunya.
Sungguh kaget ketika melihatnya terkapar bersimbah darah. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dalam
genggaman tangannya terdapat sebuah bingkai foto. Pembunuhan, pembunuhan! Aku
dan Sari berteriak sekeras mungkin. Tetangga berkerumun membawa si Sapto ke
rumah sakit.
Dalam foto itu, dua orang wanita
yang sangat kukenal.
Aku
dan ibuku!
Berarti Sapto adalah Mas Aryo???!!
HK@Jogjakarta,
27 Januari ’14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar