Ken mendesah parau, sambil menatap Ratri, anak satu-satunya yang sedang tidur di atas
tumpukan kardus pemberian Mak Ijah sebulan yang lalu, tak terasa air matanya
satu per satu bergulir, awalnya lamban menuju setetes-setetes dan akhirnya
deras seketika itu juga. Apa yang dialaminya malam ini sangat mengganggu
fikirannya. Seharusnya kata ‘bahagia’ adalah kebutuhan primer malam ini.
Seharusnya. ‘Tetapi entahlah, seakan-akan otakku sudah penuh untuk memikirkan
cara apa yang sebaiknya kulakukan, tinggal lima jam lagi sudah tiba waktunya
dan hanya itu waktuku’. Batin Ken pilu.
“Mbak Ju, bagaimana kabarnya? Sudah lama tak berjumpa,
sekarang di rumah terus ya?” Basa-basiku menyapa pagi itu ketika bersimpangan
dengan tetangga berjarak lima rumah dari tempatku tinggal di pertigaan gang
keluar masuk komplek.
“Wah, kabar apik Jeng Sunar. Iya, semenjak punya
si Ulin, bayi abang gendut ini aku jadi jarang keluar. Eh, Jeng,
sekarang harga sembako pada mahal banget ya, melambung ke langit gak
tanggung-tanggung, kalo suamiku pengangguran bisa setiap hari bikin marah nih,
tapi Alhamdulillah, suamiku mau berusaha meski hanya jadi buruh pabrik, yah,
dikit-dikit nabunglah”. Dengan gayanya yang khas, kelenjeh-lenjehan,
wanita yang kupanggil Mbak Ju tersenyum merekah sambil menimang-nimang bayinya
yang berumur delapan bulan itu.
Ku urungkan niatku semula untuk kusampaikan pada Mbak Ju
melihat komentar panjang lebarnya. Desahanku mulai kentara, dan Mbak Ju
menangkap kegelisahanku.
“Ada apa ya Jeng? Sepertinya kok sedang ada fikiran yang
mengganggu”. Desak Mbak Ju penasaran.
“Ah, tidak apa-apa, Mbak. Ini lho, Ratri di rumah
sendirian, lagi sakit panas dia, untung obat anak-anak di warung Bu sabar masih
ada, tinggal satu biji”. Aku menentramkan hatiku sendiri.
“Oh, syukurlah, suamimu belum pulang-pulang juga?” Mbak
Ju memicingkan matanya tanda menyelidik.
Pertanyaan Mbak Ju bagaikan sambaran petir bagiku, mataku
berkaca-kaca mengingat kejadian setahu lalu ketika suamiku, Mas Ari, meminta
izin padaku untuk pergi ke Johor, Malaysia. Katanya sih mendapat panggilan
kerja di PT. Hatiku berbunga-bunga mendengar kabar yang disampaikan suamiku.
Dalam benakku, masa depan cerah menanti keluargaku dikemudian hari. Sengaja aku
tidak tidur semalaman untuk menyiapkan barang bawaan yang akan dibawa suamiku
besok pagi setelah sahur. Semalaman aku hanya memandangi wajah tirus suamiku
yang sedang tidur bersandingan dengan Ratri kacil, semoga kau baik-baik di sana
ya Mas, desahku. Diatas rasa kebahagiaan yang menyeruak memenuhi rongga dada,
kesedihan tak kuasa ku tutup-tutupi di depan mata mas Ari. Itu artinya, Lebaran
tahun ini tidak ditemani suamiku.
“Dik, ini uang untuk Ratri, dihemat-hematkan ya, dan yang
di amplop putih kecil satunya untuk Zakat Fitrah besok malam, kamu belikan beras
dan bilang pada Pak Haji Hasan supaya mudah, biar panitianya yang membagikan
kepada yang berhak menerimanya”. Sambil tersenyum, Mas Ari memberikan barang
berharga itu untukku.
“Saling mendo’akan ya, Dik, semoga Lebaran tahun depan
kita bisa berkumpul kembali”. Aku masih saja tidak mampu mengeluarkan satu
patah kata pun. Ratri masih mendengkur tak peduli dengan kesedihan hatiku, ah,
Ratri, do’akan ibu kuat ya. Bisikku memandang wajah polos Ratri yang tertidur
pulas.
Ingatanku melayang setahun lalu ketika melepas kepergian
suamiku di beranda rumah sederhana di pinggiran kota metropolitan ini.
“Jeng, kamu baik-baik saja?” Mbak Ju menepuk pundakku
khawatir.
“Ah, eh, iya Mbak, tidak apa-apa. Monggo, saya
duluan”. Aku segera berlalu teringat anakku di rumah.
Mbak Ju melengos saja sambil mendendangkan lagu
cublak-cublak suweng, kelihatannya sedang menina bobokkan si Ulin.
***
Setahun berlalu sejak kepergian suamiku, sedikit demi
sedikit uang yang kupegang semakin menipis, padahal setiap hari aku selalu buruh
cuci pakaian di rumah-rumah tetangga. Selama itu pula, suamiku tak kunjung
memberi kabar. Entah bagaimana keadaannya, apakah sudah berhasil ataukah
bagaimana? Aku sendiri tak berujung memikirkan pertanyaan-pertanyan itu. Ya
Allah, lindungilah suamiku, pintaku dalam setiap malam-malamku.
Dan malam ini, sepeserpun aku tak mempunyai uang untuk
membeli beras. Hanya tinggal lima jam lagi menuju shalat ‘ied . To
be continued…
[Lanjutan…]
Tik tik tik
Air mataku kian deras mengguyur pipiku, nafasku sesak. Gusti,
apakah tidak ada kesempatan lagi untukku untuk menunaikan kewajibanku? Ya Allah
Gustii paringono sabar. Sembab mataku, dengan terseok-seok, aku keluar
menuju jalan sepetak di depan rumahku. Berharap sesuatu.
Tak henti-hentinya suara
petasan meramaikan malam berkah ini, menambah kelunya hatiku. Banyak orang lalu
lalang membawa berkresek-kresek beras untuk dibagikan kepada yang berhak, apakah
mereka tau keadaanku sekarang? Apakah aku harus melapor kepada mereka? Ahh,
dunia ini begitu sempit kurasa. Ya, aku harus melakukan sesuatu, aku harus
minta tolong kepada seseorang. Dengan sedikit berlari aku menghampiri masjid
Ar-Rahman yang berjarak kurang lebih 300 meter dari tempatku. Aku hanya
memikirkan Ratri, suamiku dan diriku sendiri, bagaimana aku harus memenuhi
kewajiban itu.
Semakin kencang aku berlari,
sepertinya waktuku semakin sempit. Ku dengar gema takbir berkumandang memenuhi
jagad raya ini. Ya Allah, subuh hampir sampai. Tiba-tiba…
Bbrrrraaaakkkkk, sshhh sshhh…
Ringan sekali kurasa, terbang,
melayang, tinggi dan jauh.
Sontak, semua orang yang ada
di masjid menoleh seketika itu juga. Berkerumun mendekati asal suara. Sambil
berjalan mendekat, mereka terkejut bukan main.
“Kecelakaan, kecelakaan,
kecelakaan!!” Teriak orang-orang itu panik. Hanphone kelip-kelip
memplubikasikan kejadian subuh pagi ini.
***
[Menungso
usoho, dene ingkang menentukan iku Gusti Moho agung…]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar