Sabtu, 22 Maret 2014

KEBUDAYAAN YOGYAKARTA “SEKATEN” SEBAGAI ESTETIKA ADILUHUNG



Keistimewaan Yogyakarta adalah suatu keniscayaan sejarah. Bukan karena adanya pemimpin dan rakyat Jogja ingin diistimewakan atau dimuliakan. Ataupun sekedar prosesi pewarisan, melainkan melalui proses perjuangan yang berdarah-darah dan juga karena Jogja memiliki ciri yang khas dan status yang khusus  Itulah yang menjadikan Jogja menyandang gelar istimewa.
          Budaya, adat istiadat, sejarah, dan nilai adiluhung  yang ada di Yogyakarta sejak Pangeran Mangkubumi ‘babat alas’ tidak sekedar unik, tetapi merupakan keelokan tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain. Keelokan tersebutlah yang memberi makna bagi Indonesia. Statement Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri paku Alam VIII untuk berdiri di belakang RI adalah tali yang mengikatkan Yogyakarta dengan Indonesia.
          Mulai sejak Karaton didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarah berfilosof yang berhubungan dengan Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat selalu menjadi buah bibir masyarakat luas dan sudah tentu bagi masyarakat Jawa pada umumnya.
          Meskipun merebaknya globalisasi di era modern ini terus menggerus spiritualitas kehidupan, kebudayaan kejawen yang sudah mendarah daging di Karaton  Ngayogyokarto akan tetap lestari. Hal itu terbukti dengan adanya ruas sambung antara ajaran agama dan kebudayaan lokal. Terjadinya akulturasi agama dan budaya merupakan konsekwensi dari universalitas agama sehingga persebaran agama tidak menggusur dan mengusir adat istiadat dan budaya yang telah mengakar di tengah masyarakat.

          Salah satu bentuk yang sangat menonjol di Yogyakarta adalah upacara komunal “Sekaten”. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun sekali, yaitu menjelang Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata “Syahadatain” yang meksudnya adalah dua kalimat syahadat. Syahadat yang pertama disebut syahadat tauhid, berbunyi “asyhadu allaa ila-ha-illallah” yang artinya saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, sedang syahadat yang kedua disebut syahadat rasul yang berbunyi “asyhadu anna muhammadarrasuulullah” yang artinya dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Pendapat tersebut beralasan bahwa pada zaman dahulu, upacara sekaten merupakan perayaan yang diselenggarakan dalam rangka syi’ar agama Islam. Agama hindu, budha, animisme dan dinamisme  adalah agama yang paling berpengaruh pada masa itu. Kemudian orang-orang yang datang pada upacara perayaan tersebut dengan sukarela masuk agama Islam dengan mengucap syahadatain.
Penyebaran agama yang semacam itulah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga. Pada awalnya, beliau membuat Gongso (gamelan) untuk mengumpulkan orang-orang dan kemudian mengajaknya masuk Islam, tetapi orang-orang tidak langsung meng-iyakan ajakan beliau melainkan mengajukan persyaratan kepada Kanjeng Sunan, yaitu supaya upacara-upacara tradisional yang sudah melekat di hati mereka tidak dihilangkan. Kanjeng Sunan menyetujui permintaan mereka. Gongso itulah yang kemudian diboyong ke Yogyakarta dan dikeluarkan setiap malam 12 Rabi’ul Awwal, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Menurut KRT.H.Jatiningrat, SH dalam artikelnya, setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, Surakarta dan Ngayogyakarta. Termasuk gamelan sekaten juga dibagi menjadi dua, Surakarta mendapat Kyai Guntursari dan Ngayogyakarta mendapatkan Kyai Gunturmadu.    Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, gamelan Kyai Gunturmadu dibuatkan pasangan yaitu Kyai Nagawilaga. Dinamakan Kyai Nagawilaga, sebab gamelan ini terbuat dari campuran perunggu dan meteor (titanium). Sedang meteor tersebut sewaktu datang dari angkasa masuk ke bumi bercahaya dan berekor panjang berwarna merah dan kuning seperti naga. Maka gamelan tersebut dinamakan Naga yang kemudian ditambah dengan kata Wilaga yang berarti perang dan memperoleh kemenangan.
Dalam ritual upacara di Karaton, gamelan merupakan atribut yang sangat pokok. Upacara tersebut dilaksanakan selama 1 minggu yaitu sejak tanggal 5 Rabi’ul Awwal sampai tanggal 11 Rabi’ul Awwal tengah malam. Pembukaan dimulai dengan pemukulan gending Wirangrong.

Puncaknya pada malam Maulud Nabi, dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh Abdi Ndalem Karaton yang bernama Pengulon. Beliau membacakan risalah kenabian, mulai dari kelahiran, dakwah, perjuangan hingga wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kemudian dilanjutkan acara Grebeg Maulud yaitu berebut sedekah berupa makanan dari Raja. Dalam hal ini harus disikapi dengan niat yang benar, mengambil manfaat yang wajar dari sedekah tersebut dan tidak melebih-lebihkannya serta tidak mencari kekuatan dari makanan yang diperebutkan itu, sebab, hal demikian dilarang oleh agama.. Demikian sebagian penjelasan seorang Pengabdi Budaya Ndalem Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat, KRT.Dwijobakriwijoyo, SPd saat diwawancara oleh Tim Almunawwir Post (17/1/13)
Sekaten merupakan salah satu kultur lokal yang bersepadan dengan ajaran Islam. Upacara ini sebagai bentuk ungkapan cinta masyarakat Jawa kepada Baginda Nabi Muhammad SAW melalui ekspresi budaya lokal yang sama sekali tidak merusak dan bertentangan dengan ajaran Islam karena upacara-upacara yang dilakukan di Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat semua berdasar pada Islam semata. Dalam sekaten, Islam dan budaya bertemu dalam satu ritual yang harmonis. Islam tidak menghilangkan aspek tradisi lokal tetapi menginterpretasikan secara kritis dan kreatif sehingga melahirkan wajah Islam yang ramah, toleran dan moderat. Tradisi ini sama sekali tidak mengorbankan substansi Islam, bahkan hal ini menjadi penghargaan terhadap nilai-nilai lokalitas yang telah dipraktekkan oleh para walisanga.
“Ngeli ananging ora ngeli,” tutur KRT.Dwijobakriwijoyo, SPd mengomentari ke-era globasi-an yang terjadi dewasa ini. Dasar untuk mempertahankan diri hanya ada di dalam nurani. Kuat iman, Islam, dan ihsan sebagai bekal perjuangan supaya tidak terjerumus arus globalisasi yang semakin menggila. Seperti yang di’ngendikaake’ Ngarso Dalem ke IX ketika pulang dari menuntut ilmu di luar negeri,”Pada dasarnya saya ini orang Jawa, ketika saya mempelajari kebudayaan barat, maka saya tetaplah orang Jawa.” 
Sudah tentu, segala tradisi yang termaktub di Yogyakarta berstatus istimewa. Maka dari itu, sejarah, adat istiadat, tradisi, budaya yang istimewa itu harus dimaknai dan diartikan sebagai bentuk kemajuan peradaban ke arah yang lebih baik supaya tidak hanya menjadi artefak saja.[Enha]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar