Keistimewaan
Yogyakarta adalah suatu keniscayaan sejarah. Bukan karena adanya pemimpin dan
rakyat Jogja ingin diistimewakan atau dimuliakan. Ataupun sekedar prosesi
pewarisan, melainkan melalui proses perjuangan yang berdarah-darah dan juga karena
Jogja memiliki ciri yang khas dan status yang khusus Itulah yang menjadikan Jogja menyandang gelar
istimewa.
Budaya, adat istiadat, sejarah, dan
nilai adiluhung yang ada di
Yogyakarta sejak Pangeran Mangkubumi ‘babat alas’ tidak sekedar unik, tetapi
merupakan keelokan tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain. Keelokan
tersebutlah yang memberi makna bagi Indonesia. Statement Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri paku Alam VIII untuk berdiri di belakang RI adalah
tali yang mengikatkan Yogyakarta dengan Indonesia.
Mulai sejak Karaton didirikan oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono I, sejarah berfilosof yang berhubungan dengan Karaton
Ngayogyokarto Hadiningrat selalu menjadi buah bibir masyarakat luas dan sudah
tentu bagi masyarakat Jawa pada umumnya.
Meskipun merebaknya globalisasi di era
modern ini terus menggerus spiritualitas kehidupan, kebudayaan kejawen yang
sudah mendarah daging di Karaton Ngayogyokarto akan tetap lestari. Hal itu
terbukti dengan adanya ruas sambung antara ajaran agama dan kebudayaan lokal.
Terjadinya akulturasi agama dan budaya merupakan konsekwensi dari universalitas
agama sehingga persebaran agama tidak menggusur dan mengusir adat istiadat dan
budaya yang telah mengakar di tengah masyarakat.
Salah satu bentuk yang sangat menonjol
di Yogyakarta adalah upacara komunal “Sekaten”. Upacara ini
diselenggarakan setiap tahun sekali, yaitu menjelang Peringatan Maulud Nabi
Muhammad SAW. Berasal dari kata “Syahadatain” yang meksudnya adalah dua
kalimat syahadat. Syahadat yang pertama disebut syahadat tauhid, berbunyi “asyhadu
allaa ila-ha-illallah” yang artinya saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Allah, sedang syahadat yang kedua disebut syahadat rasul yang
berbunyi “asyhadu anna muhammadarrasuulullah” yang artinya dan saya
bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Pendapat tersebut beralasan
bahwa pada zaman dahulu, upacara sekaten merupakan perayaan yang
diselenggarakan dalam rangka syi’ar agama Islam. Agama hindu, budha, animisme
dan dinamisme adalah agama yang
paling berpengaruh pada masa itu. Kemudian orang-orang yang datang pada upacara
perayaan tersebut dengan sukarela masuk agama Islam dengan mengucap
syahadatain.
Penyebaran
agama yang semacam itulah yang dilakukan Kanjeng Sunan Kalijaga. Pada awalnya,
beliau membuat Gongso (gamelan) untuk mengumpulkan orang-orang dan
kemudian mengajaknya masuk Islam, tetapi orang-orang tidak langsung meng-iyakan
ajakan beliau melainkan mengajukan persyaratan kepada Kanjeng Sunan, yaitu
supaya upacara-upacara tradisional yang sudah melekat di hati mereka tidak
dihilangkan. Kanjeng Sunan menyetujui permintaan mereka. Gongso itulah
yang kemudian diboyong ke Yogyakarta dan dikeluarkan setiap malam 12 Rabi’ul
Awwal, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Menurut
KRT.H.Jatiningrat, SH dalam artikelnya, setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755,
kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, Surakarta dan Ngayogyakarta. Termasuk gamelan
sekaten juga dibagi menjadi dua, Surakarta mendapat Kyai Guntursari dan
Ngayogyakarta mendapatkan Kyai Gunturmadu. Oleh
Sri Sultan Hamengku Buwono I, gamelan Kyai Gunturmadu dibuatkan pasangan yaitu
Kyai Nagawilaga. Dinamakan Kyai Nagawilaga, sebab gamelan ini terbuat dari
campuran perunggu dan meteor (titanium). Sedang meteor tersebut sewaktu datang
dari angkasa masuk ke bumi bercahaya dan berekor panjang berwarna merah dan
kuning seperti naga. Maka gamelan tersebut dinamakan Naga yang kemudian
ditambah dengan kata Wilaga yang berarti perang dan memperoleh kemenangan.
Dalam
ritual upacara di Karaton, gamelan merupakan atribut yang sangat pokok. Upacara
tersebut dilaksanakan selama 1 minggu yaitu sejak tanggal 5 Rabi’ul Awwal
sampai tanggal 11 Rabi’ul Awwal tengah malam. Pembukaan dimulai dengan
pemukulan gending Wirangrong.
Puncaknya
pada malam Maulud Nabi, dilanjutkan dengan pengajian yang diisi oleh Abdi
Ndalem Karaton yang bernama Pengulon. Beliau membacakan risalah
kenabian, mulai dari kelahiran, dakwah, perjuangan hingga wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Kemudian dilanjutkan acara Grebeg Maulud yaitu berebut
sedekah berupa makanan dari Raja. Dalam hal ini harus disikapi dengan niat yang
benar, mengambil manfaat yang wajar dari sedekah tersebut dan tidak
melebih-lebihkannya serta tidak mencari kekuatan dari makanan yang diperebutkan
itu, sebab, hal demikian dilarang oleh agama.. Demikian sebagian penjelasan
seorang Pengabdi Budaya Ndalem Karaton Ngayogyokarto Hadiningrat,
KRT.Dwijobakriwijoyo, SPd saat diwawancara oleh Tim Almunawwir Post (17/1/13)
Sekaten
merupakan
salah satu kultur lokal yang bersepadan dengan ajaran Islam. Upacara ini
sebagai bentuk ungkapan cinta masyarakat Jawa kepada Baginda Nabi Muhammad SAW
melalui ekspresi budaya lokal yang sama sekali tidak merusak dan bertentangan
dengan ajaran Islam karena upacara-upacara yang dilakukan di Karaton
Ngayogyokarto Hadiningrat semua berdasar pada Islam semata. Dalam sekaten,
Islam dan budaya bertemu dalam satu ritual yang harmonis. Islam tidak
menghilangkan aspek tradisi lokal tetapi menginterpretasikan secara kritis dan
kreatif sehingga melahirkan wajah Islam yang ramah, toleran dan moderat.
Tradisi ini sama sekali tidak mengorbankan substansi Islam, bahkan hal ini menjadi
penghargaan terhadap nilai-nilai lokalitas yang telah dipraktekkan oleh para
walisanga.
“Ngeli
ananging ora ngeli,” tutur KRT.Dwijobakriwijoyo, SPd mengomentari
ke-era globasi-an yang terjadi dewasa ini. Dasar untuk mempertahankan diri hanya
ada di dalam nurani. Kuat iman, Islam, dan ihsan sebagai bekal perjuangan
supaya tidak terjerumus arus globalisasi yang semakin menggila. Seperti yang di’ngendikaake’
Ngarso Dalem ke IX ketika pulang dari menuntut ilmu di luar negeri,”Pada
dasarnya saya ini orang Jawa, ketika saya mempelajari kebudayaan barat, maka
saya tetaplah orang Jawa.”
Sudah
tentu, segala tradisi yang termaktub di Yogyakarta berstatus istimewa. Maka
dari itu, sejarah, adat istiadat, tradisi, budaya yang istimewa itu harus
dimaknai dan diartikan sebagai bentuk kemajuan peradaban ke arah yang lebih
baik supaya tidak hanya menjadi artefak saja.[Enha]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar