Sabtu, 22 Maret 2014

Sepenggal Kisah di Ar-Rahman



Mengawali libur ujian semester genap, para santri  sesibuk mungkin menyiapkan hari bebasnya untuk melakukan apapun yang mereka inginkan. Pulang sepertinya baik untuk kesehatan, begitu menurut Ramzi cs. Mereka sudah 3 tahun tidak pulang ke kampung halamannya di Kalimantan Selatan. Alhasil saat itu juga mereka berkemas dan segera meminta izin kepada Pak Kiyai untuk mudik ke kampong halaman tercinta.
            Sebagian besar pulang, tetapi ada juga yang menghabiskan waktu liburnya untuk bekerja paruh waktu, mencari kegiatan karena sekolah di Pesantren Ar Rahman sudah libur. Tidak terkecuali Guntur dan Ahmed, mereka tidak terlihat sibuk seperti kebanyakan yang lainnya, bahkan tak salah lagi. Mereka segera membersihkan kamar mereka dan menata sedemikian rupa setelah anak-anak penghuni kamar Al Ghazali sudah pulang semua. Hanya tersisa mereka berdua. Tapi, apa yang akan mereka lakukan untuk mengisi liburan mereka? Tak seorang pun tau. Hanya saja, mereka sudah mempunyai rencana. Ya, sebuah rencana besar.
***
“Gun, kau benar-benar sudah gila!!”. Ahmed memelototiku tanpa ampun.
            “Bolehlah aku sesekali memberinya pelajaran”. Pembelaanku mutlak melawan Ahmed.
            “Tapi kau sungguh keterlaluan!”. Dia masih tak setuju dengan perlakuanku, entah apa yang menjadikan Ahmed bersikukuh dengan larangannya kepadaku.
            “Arrrgghh, kenapa pula kau pusing, sudahlah kalau kau memang mendukung rencanaku, mari kita lakukan! Tapi kalau tak setuju dan akan membuat hatimu menjadi sakit, ya sudahlah. Aku tak pernah memaksamu untuk mengikuti setiap langkahku. Jangan halang-halangi aku dan berhentilah melarangku!”. Dengan perasaan dongkol, ku sengaja menggertak Ahmed, biar. Kali ini tak ada lagi yang bias menghalangi langkahku. Aku sudah muak dengan perlakuan si tua keladi, Projo Suseno. Rentenir ikan yang merajalela di tengah-tengah kampong Randu Nom ini. Tunggu saja, kau pasti akan mendapat balasanku! Aku menggumam sambil mengepalkan tanganku.
“Suatu saat kau akan mendapat konsekuensinya Gun”. Masih saja Ahmed menasehatiku dengan kata-kata bijaknya.
“Biarlah Med konsekuensi itu ku tanggung, demi penduduk desa ini, kau juga. Aku memang keterlaluan. Tapi si tua itu lebih keterlaluan lagi jika dibiarkan terus berkeliaran menyuruh anjing-anjingnya yang menjijikkan itu. Kau juga tau kan, apa hukum itu semua, haram Med, haram!”. Sentakku berapi-api
“Penindas! Dasar!”. Tangan Ahmed mengepal sambil memegang tanganku. Semua itu tertuju pada si tua Projo Suseno. Sang lintah darat.
***
Ombak pantai Klayer menggulung-gulung menerpa pasir putih yang memanjang mengelilingi tepi laut. Lazuardi bergerombol menghitam, membentuk bola-bola raksasa yang menggantung pekat. Menyelimuti suasana mencekam pagi ini.
Tak ada yang berani melaut. Angin berhembus lebih kencang daripada biasanya. Hingga burung camar pun tak berani menampakkan batang hidungnya. Ah, mungkin sudah menyiapkan makanan jauh-jauh hari karena tau hari ini akan mendung sebegitu hitamnya.
“Bang, sudahlah, tak usah melaut hari ini!”. Narni tergopoh sambil sedikit berteriak ke arahku. Adikku pertama yang sangat kusayangi, dia adalah pengganti ibu dalam keadaan apapun. Anakku sudah dua tahun ini dia yang merawatnya, setelah istriku Waryani meninggalkanku dan tak akan pernah kembali, tertelan ombak pantai setahun yang lalu. Aku menyesal mengapa waktu itu membiarkan saja istriku membantuku melaut, padahan si kecil Amir masih sangat butuh kasih sayang seorang ibu. Dia memaksaku meluluskan permintaannya karena kita sudah terlilit hutang di tempat rentenir tua itu. Ah hidup, terkadang kau sungguh sangat kejam. Hamper aku merasa tak kuat menanggung beban ini, tapi Narni selalu memberiku semangat, juga Damar. Bocah 15 tahun yang terpaksa berhenti sekolah, melihat keadaan ekonomi keluarga yang morat-marit tak keruan. Adik-adikku, sungguh maafkan abangmu yang tak bertanggung jawab ini.
Aku menerawang jauh lepas ke pantai, biasanya nyiur itu melambai bagaikan seorang penari meliuk-liukkan badannya. Memberikan suguhan gratis setiap tengah dan sore hari. Menghibur hatiku yang penat, langkahku yang lelah, pikiranku yang gundah. Tapi hari ini nyiur itu seperti monster bagiku, melambai hendak melemparkanku ke laut tanpa rasa kasihan sedikitpun. Seperti istriku, Waryani, dimanakah kau sekarang? Apakah kau tak kangen pada anakmu?
Ya. Gun, kau harus melakukannya sekarang!.
Aku bergegas mengambil tasku dan sedikit berlari menuju pintu belakang supaya Narni dan Damar tak mengetahuiku pergi dari rumah.
Kriiieettt… pintu berderit. Tapi Narni yang masih ndulang[1] Amir tak terganggu sedikitpun.
***
            Menjelang petang, penduduk desa Padalarang dikagetkan dengan penemuan mayat. Semua orang begidik ngeri karena mayat sudah tak berbentuk sama sekali. Entah siapa yang dapat mengenalinya. Sudah rusak berat, memar disana sini. Tak ada yang berani menyentuhnya sama sekali.
            Akhirnya didatangkan polisi dari kecamatan untuk menyelidiki kasus ini, sepertinya memang ada pembunuhan di desa ini. Para penduduk sontak bubar dan menjauh dari tempat kejadian perkara.
            Desas-desus penemuan mayat lagsung menyebar ke seantero penjuru desa. Bahkan, tak ada satu orang pun yang tak mengetahui kejadian itu. Anak-anak kecil pun tau. Mulai hari itu, tak ada keramaian anak-anak bermain di setiap sore hari, di lapangan, di sepanjang pantai. Semua dilarang orang tua mereka masing-masing untuk keluar dari rumah-rumah mereka. Para tetua kambpung mengumumkan bahwa desa mereka sedang terkena tulah karena mengambil ikan-ikan di laut tanpa ampun banyaknya. Tapi kita harus minta izin pada siapa? Bukankan itu semua hanya milik Sang Pemilik Bumi?
            “Gun, sudah kau dengar kabar Projo Suseno mati”? Ahmed mengunjungiku hanya untuk menanyakan berita itu.
            “Wah, kamu memang bigos terkenal ya Med? Hahaha aku aja gak tau kabar itu. Ngeles.
“Aku yang selalu mencari berita di desa ini, maklum, aku kan reporter”. Dengan semangat berapi-api dia berkoar-koar.
Senyumku mengembang 180 derajat celcius.
            Gubraaakkk….
            Aku ngakak terpingkal-pingkal..
            “Hahaha, hanya kamu yang baru mengabariku tentang kejadian itu. Dari kemarin aku sudah mengetahuinya. Dasar lemot! Reporter kok telat”.  Ketinggalan sepur[2] tau!! 
Ahmed nyengir, dia menimpukku dengan segenggam pasir kering. Huh mataku kelilipan karenanya. Sekonyong-konyong dia tak juga menyemburku dengan pasir saja, air minim yang kusuguhkan untuknya pun ikut membanjiri tubuhku. Basah. Dasar Ahmed. Awass kau!
Aku mengejar Ahmed dan gantian menimpukinya dengan segenggam pasir.
Dan tiba-tiba bumi bergoyang, bergoncang, sangat keras. Allah, ada apa ini? Ku lihat Ahmed panik  dan berbalik ke arahku.. Gun!
***
            “Guntur, Ahmed, apa yang kamu lakukan?!!”
            Aku mengerjap-ngerjapkan kelopak mataku. Waduuuhh… kenapa banyak orang disini?
Aku kaget bukan main, dan Ahmed tak kalah terpana juga. Dengan baju semrawut dan kusut sana sini, aku dan Ahmed hanya tersenyum manis menatap para hadirin. Tegang.
            Mataku tertuju pada satu sosok bayangan yang sangat ku kenali dan terlihat berbeda diantara mereka.
            “Pak Kyai, ngapunten ingkang kathah[3]!”.desisku.
            Saiki meluo aku[4]!”. Pak Yai dawuh dengan menatap mataku.
            Mampus aku! Sambil menoleh Ahmed, dengan gontai ku mengekor di belakang abdi Pak Yai. Hhh mengapa pula ide itu ku luluskan! Berkemah di loteng atas ndalem Pak Yai dengan segala peralatan camping yang super lengkap. Jemuran yang bergantungan kita ibaratkan bendera-bendera. Kita rombak tempat itu menjadi bumi perkemahan yang indah. Hanya kita berdua dan baru semalam kita menginap tidur dibawah taburan bintang berkelip-kelip sambil menbayangkan Waryani cantik. Berbuah petaka. Alhamdulillah, Waryani, Narni, Damar, laut, gelombang pasang, adalah mimpi. Hanya mimpi! Hahaha Aku tersenyum lebar mengingatnya.
            Kulihat Pak Yai sudah menunggu kita di ruang tamu. Dengan wajah wibawa, beliau berdehem, memulai ngendikan[5].
            “Le le, mau jadi apa kamu? Bagaimana kau menghadapi masyarakatmu, bangsamu, negaramu, jika yang kau lakukan di pondok hanyalah berleha-leha. Malah membuat kemah-kemahan di loteng jemuran. Kamarmu sempit to? Bangun jam 7 pagi, sudah shalat subuh tah kalian itu? Sekarang bereskan tempat dan menghapalkan 1000 Nadzam Alfiyah Ibnu Malik  selama liburan sebagai hukumannya”.
Gubrakkk…!!!
Kunang-kunang langsung mengelilingi kepalaku. Terjepit, sempit. Dan aku hanya bisa pasrah. Ahmed menatapku tak berkedip.

By.Hiq's





[1] Menyuapi anak kecil
[2] Kereta api
[3] Maaf yang banyak sekali
[4] Sekarang ikut aku
[5] Ucapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar