Mengawali libur ujian semester genap, para santri sesibuk mungkin menyiapkan hari bebasnya
untuk melakukan apapun yang mereka inginkan. Pulang sepertinya baik untuk
kesehatan, begitu menurut Ramzi cs. Mereka sudah 3 tahun tidak pulang ke kampung
halamannya di Kalimantan Selatan. Alhasil saat itu juga mereka berkemas dan
segera meminta izin kepada Pak Kiyai untuk mudik ke kampong halaman tercinta.
Sebagian besar pulang, tetapi ada
juga yang menghabiskan waktu liburnya untuk bekerja paruh waktu, mencari
kegiatan karena sekolah di Pesantren Ar Rahman sudah libur. Tidak terkecuali
Guntur dan Ahmed, mereka tidak terlihat sibuk seperti kebanyakan yang lainnya,
bahkan tak salah lagi. Mereka segera membersihkan kamar mereka dan menata
sedemikian rupa setelah anak-anak penghuni kamar Al Ghazali sudah pulang semua.
Hanya tersisa mereka berdua. Tapi, apa yang akan mereka lakukan untuk mengisi
liburan mereka? Tak seorang pun tau. Hanya saja, mereka sudah mempunyai
rencana. Ya, sebuah rencana besar.
***
“Gun, kau benar-benar sudah gila!!”. Ahmed memelototiku tanpa
ampun.
“Bolehlah aku sesekali memberinya
pelajaran”. Pembelaanku mutlak melawan Ahmed.
“Tapi kau sungguh keterlaluan!”. Dia
masih tak setuju dengan perlakuanku, entah apa yang menjadikan Ahmed bersikukuh
dengan larangannya kepadaku.
“Arrrgghh, kenapa pula kau pusing,
sudahlah kalau kau memang mendukung rencanaku, mari kita lakukan! Tapi kalau
tak setuju dan akan membuat hatimu menjadi sakit, ya sudahlah. Aku tak pernah
memaksamu untuk mengikuti setiap langkahku. Jangan halang-halangi aku dan
berhentilah melarangku!”. Dengan perasaan dongkol, ku sengaja menggertak Ahmed,
biar. Kali ini tak ada lagi yang bias menghalangi langkahku. Aku sudah muak
dengan perlakuan si tua keladi, Projo Suseno. Rentenir ikan yang merajalela di
tengah-tengah kampong Randu Nom ini. Tunggu saja, kau pasti akan mendapat
balasanku! Aku menggumam sambil mengepalkan tanganku.
“Suatu saat kau akan mendapat konsekuensinya Gun”. Masih saja Ahmed
menasehatiku dengan kata-kata bijaknya.
“Biarlah Med konsekuensi itu ku tanggung, demi penduduk desa ini,
kau juga. Aku memang keterlaluan. Tapi si tua itu lebih keterlaluan lagi jika
dibiarkan terus berkeliaran menyuruh anjing-anjingnya yang menjijikkan itu. Kau
juga tau kan, apa hukum itu semua, haram Med, haram!”. Sentakku berapi-api
“Penindas! Dasar!”. Tangan Ahmed mengepal sambil memegang tanganku.
Semua itu tertuju pada si tua Projo Suseno. Sang lintah darat.
***
Ombak pantai Klayer menggulung-gulung menerpa pasir putih yang
memanjang mengelilingi tepi laut. Lazuardi bergerombol menghitam, membentuk
bola-bola raksasa yang menggantung pekat. Menyelimuti suasana mencekam pagi
ini.
Tak ada yang berani melaut. Angin berhembus lebih kencang daripada
biasanya. Hingga burung camar pun tak berani menampakkan batang hidungnya. Ah,
mungkin sudah menyiapkan makanan jauh-jauh hari karena tau hari ini akan
mendung sebegitu hitamnya.
“Bang, sudahlah, tak usah melaut hari ini!”. Narni tergopoh sambil
sedikit berteriak ke arahku. Adikku pertama yang sangat kusayangi, dia adalah
pengganti ibu dalam keadaan apapun. Anakku sudah dua tahun ini dia yang
merawatnya, setelah istriku Waryani meninggalkanku dan tak akan pernah kembali,
tertelan ombak pantai setahun yang lalu. Aku menyesal mengapa waktu itu
membiarkan saja istriku membantuku melaut, padahan si kecil Amir masih sangat
butuh kasih sayang seorang ibu. Dia memaksaku meluluskan permintaannya karena
kita sudah terlilit hutang di tempat rentenir tua itu. Ah hidup, terkadang kau
sungguh sangat kejam. Hamper aku merasa tak kuat menanggung beban ini, tapi
Narni selalu memberiku semangat, juga Damar. Bocah 15 tahun yang terpaksa
berhenti sekolah, melihat keadaan ekonomi keluarga yang morat-marit tak keruan.
Adik-adikku, sungguh maafkan abangmu yang tak bertanggung jawab ini.
Aku menerawang jauh lepas ke pantai, biasanya nyiur itu melambai
bagaikan seorang penari meliuk-liukkan badannya. Memberikan suguhan gratis
setiap tengah dan sore hari. Menghibur hatiku yang penat, langkahku yang lelah,
pikiranku yang gundah. Tapi hari ini nyiur itu seperti monster bagiku, melambai
hendak melemparkanku ke laut tanpa rasa kasihan sedikitpun. Seperti istriku,
Waryani, dimanakah kau sekarang? Apakah kau tak kangen pada anakmu?
Ya. Gun, kau harus melakukannya sekarang!.
Aku bergegas mengambil tasku dan sedikit berlari menuju pintu
belakang supaya Narni dan Damar tak mengetahuiku pergi dari rumah.
Kriiieettt… pintu berderit. Tapi Narni yang masih ndulang[1]
Amir tak terganggu sedikitpun.
***
Menjelang petang, penduduk desa
Padalarang dikagetkan dengan penemuan mayat. Semua orang begidik ngeri karena
mayat sudah tak berbentuk sama sekali. Entah siapa yang dapat mengenalinya.
Sudah rusak berat, memar disana sini. Tak ada yang berani menyentuhnya sama
sekali.
Akhirnya didatangkan polisi dari
kecamatan untuk menyelidiki kasus ini, sepertinya memang ada pembunuhan di desa
ini. Para penduduk sontak bubar dan menjauh dari tempat kejadian perkara.
Desas-desus penemuan mayat lagsung
menyebar ke seantero penjuru desa. Bahkan, tak ada satu orang pun yang tak
mengetahui kejadian itu. Anak-anak kecil pun tau. Mulai hari itu, tak ada
keramaian anak-anak bermain di setiap sore hari, di lapangan, di sepanjang
pantai. Semua dilarang orang tua mereka masing-masing untuk keluar dari
rumah-rumah mereka. Para tetua kambpung mengumumkan bahwa desa mereka sedang
terkena tulah karena mengambil ikan-ikan di laut tanpa ampun banyaknya. Tapi
kita harus minta izin pada siapa? Bukankan itu semua hanya milik Sang Pemilik
Bumi?
“Gun, sudah kau dengar kabar Projo
Suseno mati”? Ahmed mengunjungiku hanya untuk menanyakan berita itu.
“Wah, kamu memang bigos terkenal ya
Med? Hahaha aku aja gak tau kabar itu. Ngeles.
“Aku yang selalu mencari berita di desa ini, maklum, aku kan
reporter”. Dengan semangat berapi-api dia berkoar-koar.
Senyumku mengembang 180 derajat celcius.
Gubraaakkk….
Aku ngakak terpingkal-pingkal..
“Hahaha, hanya kamu yang baru
mengabariku tentang kejadian itu. Dari kemarin aku sudah mengetahuinya. Dasar
lemot! Reporter kok telat”. Ketinggalan sepur[2] tau!!
Ahmed nyengir, dia menimpukku dengan segenggam pasir kering. Huh
mataku kelilipan karenanya. Sekonyong-konyong dia tak juga menyemburku dengan
pasir saja, air minim yang kusuguhkan untuknya pun ikut membanjiri tubuhku.
Basah. Dasar Ahmed. Awass kau!
Aku mengejar Ahmed dan gantian menimpukinya dengan segenggam pasir.
Dan tiba-tiba bumi bergoyang, bergoncang, sangat keras. Allah, ada
apa ini? Ku lihat Ahmed panik dan
berbalik ke arahku.. Gun!
***
“Guntur, Ahmed, apa yang kamu
lakukan?!!”
Aku mengerjap-ngerjapkan kelopak
mataku. Waduuuhh… kenapa banyak orang disini?
Aku
kaget bukan main, dan Ahmed tak kalah terpana juga. Dengan baju semrawut dan
kusut sana sini, aku dan Ahmed hanya tersenyum manis menatap para hadirin.
Tegang.
Mataku tertuju pada satu sosok
bayangan yang sangat ku kenali dan terlihat berbeda diantara mereka.
Mampus aku! Sambil menoleh Ahmed,
dengan gontai ku mengekor di belakang abdi Pak Yai. Hhh mengapa pula ide itu ku
luluskan! Berkemah di loteng atas ndalem Pak Yai dengan segala peralatan
camping yang super lengkap. Jemuran yang bergantungan kita ibaratkan bendera-bendera.
Kita rombak tempat itu menjadi bumi perkemahan yang indah. Hanya kita berdua
dan baru semalam kita menginap tidur dibawah taburan bintang berkelip-kelip
sambil menbayangkan Waryani cantik. Berbuah petaka. Alhamdulillah, Waryani,
Narni, Damar, laut, gelombang pasang, adalah mimpi. Hanya mimpi! Hahaha Aku
tersenyum lebar mengingatnya.
Kulihat Pak Yai sudah menunggu kita
di ruang tamu. Dengan wajah wibawa, beliau berdehem, memulai ngendikan[5].
“Le le, mau jadi apa kamu? Bagaimana
kau menghadapi masyarakatmu, bangsamu, negaramu, jika yang kau lakukan di
pondok hanyalah berleha-leha. Malah membuat kemah-kemahan di loteng jemuran.
Kamarmu sempit to? Bangun jam 7 pagi, sudah shalat subuh tah kalian itu? Sekarang
bereskan tempat dan menghapalkan 1000 Nadzam Alfiyah Ibnu Malik selama liburan sebagai hukumannya”.
Gubrakkk…!!!
Kunang-kunang
langsung mengelilingi kepalaku. Terjepit, sempit. Dan aku hanya bisa pasrah.
Ahmed menatapku tak berkedip.
By.Hiq's
Tidak ada komentar:
Posting Komentar