Sabtu, 22 Maret 2014

Sawahku

 

"Kau akan menemuinya???" Antusias Haldan memojokkanku.
"Ya. Sudah tak salah lagi, dy pasti Karjo". Aku seakan lega dgn jawabanku. (haha 'seakan') "memedi sawàh" itu seakan menertawakanku, dendam membara.
"Semoga saja kau tak salah dgn pradugamu!" Haldan tetap saja berjaga2 dgn smua alasannya.
"Ah, entahlah Dan, sejak sawah Babeku di sita sama keluarga Karjo, aku tak lagi melihat batang hidungnya. Lupa sudah wajahnya yg penuh dg kebengisan itu. Masih untung tak menyuruhku utk melanjutkan pengabdianku sbgai seoarang pekerja di rumahnya yg penuh dgn anjing galak itu! Beban rasanya". Sambil mengelus dadaku, ku mengeluh kesah. Lemas rasanya mengingat hutang Babeku menumpuk di tangan rentenir kampung itu.
Tak menyangka, jaman gini masih ada lintah darat yg brkeliaran. Menyesakkan dada para buruh tani kecil2an macam kami.
"Sudahlah, yğ pàsti Gusti Allah mboten sare". Haldan lagi2 menenangkanku. Beberapa bulan terakhir ini dy magang di salah satu cabang Bank di desa kami. Mengurusi peminjam uang, tengkulak.
Tak lebih dengan penentraman hatiku atas petuah2 kecilnya, yg mngkin baginya tidak brguna, dalam hatiku, tak pantaslah tak berterima kasih pada Haldan, pegawai bank baru itu.
"Yah, terima kasih Dan. Mski pradugaku mndorongku utk mebalas semua kelakuan rentenir itu trhdp keluargaku, saya yakin, Sing Moho Welas sudah mencatatnya dan akan membalasnya atas kedzoliman2nya". Seakan2 legowo menguasaiku. Dan kuharap ini bukan hanya "seakan2" tapi "sebenarnya".
Haldan mengajakku mengusir burung2 pemakan padi dengan menggoyang2kan "memedi sawah" buatan Babeku sebelum meninggal sebulan yg lalu.
#Dunia ini trlalu singkat utk pendendam-dendam-gendam
#01.11.13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar