Sawahku
 
"Kau akan menemuinya???" Antusias Haldan memojokkanku.
 "Ya. Sudah tak salah lagi, dy pasti Karjo". Aku seakan lega dgn 
jawabanku. (haha 'seakan') "memedi sawàh" itu seakan menertawakanku, 
dendam membara.
 "Semoga saja kau tak salah dgn pradugamu!" Haldan tetap saja berjaga2 dgn smua alasannya.
 "Ah, entahlah Dan, sejak sawah Babeku di sita sama keluarga Karjo, aku 
tak lagi melihat batang hidungnya. Lupa sudah wajahnya yg penuh dg 
kebengisan itu. Masih untung tak menyuruhku utk melanjutkan pengabdianku
 sbgai seoarang pekerja di rumahnya yg penuh dgn anjing galak itu! Beban
 rasanya". Sambil mengelus dadaku, ku mengeluh kesah. Lemas rasanya 
mengingat hutang Babeku menumpuk di tangan rentenir kampung itu.
 Tak menyangka, jaman gini masih ada lintah darat yg brkeliaran. Menyesakkan dada para buruh tani kecil2an macam kami.
 "Sudahlah, yğ pàsti Gusti Allah mboten sare". Haldan lagi2 
menenangkanku. Beberapa bulan terakhir ini dy magang di salah satu 
cabang Bank di desa kami. Mengurusi peminjam uang, tengkulak.
 Tak 
lebih dengan penentraman hatiku atas petuah2 kecilnya,  yg mngkin 
baginya tidak brguna, dalam hatiku, tak pantaslah tak berterima kasih 
pada Haldan, pegawai bank baru itu.
 "Yah, terima kasih Dan. Mski 
pradugaku mndorongku utk mebalas semua kelakuan rentenir itu trhdp 
keluargaku, saya yakin, Sing Moho Welas sudah mencatatnya dan akan 
membalasnya atas kedzoliman2nya". Seakan2 legowo menguasaiku. Dan 
kuharap ini bukan hanya "seakan2" tapi "sebenarnya".
 Haldan 
mengajakku mengusir burung2 pemakan padi dengan menggoyang2kan "memedi 
sawah" buatan Babeku sebelum meninggal sebulan yg lalu. 
 #Dunia ini trlalu singkat utk pendendam-dendam-gendam
 #01.11.13
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar