Akan menjadi
sebuah harga ketika sesuatu itu dihargai,
meski tak
berlabel,
setidaknya
meng-harga-i adalah prestasi tersendiri…
(Krapyak, 22 Dec 2012)
***
Aku hanya merasa sangat bahagia
ketika lamat-lamat kudengar suara kecil dan renyah itu menembus ruang kosong
tak berpenghuni ini.
“Ibuu, beliin kertas itu bu. Yu Rii
ingin menggambar!”. Kedengarannya permintaan itu sangat memaksa.
“Yu Rii kan sudah punya banyak
kertas gambar di rumah”. Ibu itu terlihat menahan hasrat anaknya.
Aku tersenyum simpul, miris. Kuharap
anak kecil yang dipanggil Yu Rii berhasil merayu ibunya. Terlihat
mata elok Yu Rii berkaca-kaca, hampir meneteskan airnya. Perlahan dengan
pelan, air itu pun jatuh membasahi pipinya yang mungil berlesung. Sekilas ku
menatap ekspresi ibunya yang bingung berusaha mendiamkan
tangisan Yu Rii yang begitu kerasnya.
“Ya sudah, Yu Rii boleh ambil, tapi
satu saja ya!”. Ibu mengernyitkan alisnya
sambil mengambil sepuluh ribuan dari dalam dompetnya.
Senyumku mengembang sangat lebar,
bahkan lebih lebar dari senyuman Yu Rii. Hari ini aku sungguh sangat bahagia.
Entah, aku sendiri tidak tau mengapa?
“Iya bu, Yu Rii ambil yang warna
putih”. Sambil berbinar, anak itu mengambil dengan sekenanya. Berjinjit karena
letak tumpukan kertas yang lumayan tinggi. Ditampiknya tangan Mang Udin,
penjual berbagai macam kertas yang berusaha mengambilkan kertas putih itu.
Ah Yu Rii, kau semangat sekali. Mang Udin dan ibu
hanya tersenyum melihat gelagat Yu Rii. Dan aku tak kalah berbinar karena
artinya aku akan segera bebas melanglang buana, menjelajahi alam dan menapaki
dunia baruku yang selama ini ku impikan.
***
Pengorbanan. Aku hanya ingin melakukan
satu kata itu. Sesaat sebelum ku menjadi seperti ini, aku adalah bongkahan tak
teratur yang menjadi korban tangan-tangan tak bertanggung jawab. Saat itu, aku
ingin berontak, membalas perlakuan mereka dengan menggunakan kekejamanku,
menindih dan memukul mereka. Tapi itu mustahil kulakukan. Aku tertindas dan
panik. Itu sesaat sebelum aku masuk dalam perubahan-perubahan yang banyak
berproses itu. Aku tak ingin pengorbanan yang terpaksa itu membuatku
menjadi terpaksa dalam kehidupan ini. Hingga setiap saat selalu kupanjatkan “Ya
Rabb, hamba mohon bisa bermanfaat bagi siapapun atau apapun, karena semua
adalah milik-Mu. Tak terkecuali”.
Udara di sini terasa lebih dingin dari tempat sebelumnya. Rindangnya
pohon linden di sekitar rumah ini melambai-lambai mengikuti arah angin
berhembus. Semilir. Sungguh damai sekali hatiku. Jiwaku terasa bebas dan
lapang. Tak sesesak sebelumnya. Revolution. Aku selalu membubuhkan kata
‘sebelum’ dan ‘sesudah’ dalam angan-anganku,
karena aku ‘sekarang’ dan aku ‘sebelumnya’ adalah berbeda.
Kulihat Yu Rii sibuk dengan
urusannya mengurusiku. Mengambil pensil, crayon, penggaris, penghapus,
dan kuas. Aku hanya merasa dicuekin dan penasaran apa yang akan dilakukan oleh
Yu Rii. Menunggu dan menunggu adalah posisiku saat ini. Seperti dulu kurasa,
lelah. Tapi itu sebelum aku merasakan kebebasan ini, sebelum ku berpindah
tangan dari tangan yang kasar menjadi tangan kecil yang lembut dan mungil. Sekarang
aku merasa ada harapan dalam penantianku. Harapan besar yang selalu ku impikan.
Kulirik jam menunjukkan pukul 02.00
dini hari. Hanya terdiam yang bisa ku lakukan saat tangan kecil itu mencoretkan
beberapa garis dalam diriku. Memutar, lurus, horizontal, vertikal
melengkung dan berserak. Aku merasakan garis-garis itu terlumat.
***
“Ibu, aku ingin ibu melihatku!”.
Setengah berteriak Yu Rii berlari kecil menuju ibunya yang sedang menyiapkan
sarapan pagi.
“Ada apa nak? Yu Rii sangat senang
hari ini ya? Semalam bermimpi apa?” Ibu memberondong Yu Rii dengan
pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan Yu Rii.
Aku pusing dengan
guncangan-guncangan tangan Yu Rii yang tak bisa ku kendalikan.
“Ibu… ini untuk Ibu”. Sambil
menyodorkan sebuah kertas bergambar seorang ibu memakai jilbab, Yu Rii
tersenyum sangat manis, lesungnya terbentuk begitu saja di pipi mungilnya.
“Makasih Yu Rii, anakku. Ini sungguh
sangat bagus”. Ibu spontan memeluk Yu Rii dan memciuminya sampai Yu Rii sesak.
Duh ibu…
Terasa buliran-buliran hangat itu
menetes membasahiku. Aku tersenyum puas. Meski cat crayonnya luntur
karena air mata ibu, aku tak permasalahkan itu. Ya, aku tidak berkorban, aku
hanya membantu Yu Rii berkorban waktunya demi ibu. Wajah ibu yang tergambar
membuat air mata ibu menetes begitu saja. Terharu. Penghargaan yang sangat luar
biasa itu muncul sekenanya untuk Yu Rii. Tanpa beban. Dalam
dekapan sang ibu, Yu Rii berkata lirih,”Ibu, aku sayang ibu sampai kapanpun!”.
Mata ngantuk Yu Rii mengerjap-ngerjap. Lentik.
***
Dalam hatiku berbisik, “Ya Rabb,
terima kasih karena Engkau telah menjadikanku sebagai lantaran Yu Rii menerima
penghargaan dari ibunya. Sebagai KERTAS yang tergambar. Karena ungkapan
sayang yang tiada terkira dan cinta yang tak ada bandingannya, hanya untuk ibu. Karena rasa itu hanya akan terasa berbeda dimanapun dan sampai
kapanpun”.
***
*Dariku
untuk ibuku “Ibu, perjuangan berletih-letih yang engkau rasakan ketika melahirkanku,
sungguh tak mampu ku membalasnya. Ibu, maafkan atas segala kesalahanku yang tak
terhitung jumlahnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar