Sebut saja
dia Lisa, seorang remaja berumur 17 tahun. Dari kecil Lisa tinggal bersama ibu
dan saudaranya, Fitri. Tak terkecuali ayahnya yang seorang pegawai PT.Kertas
tak jauh dari rumahnya di Karimun. Keluarga kecil yang sangat bahagia dengan
syukur sebagai landasannya. Setiap hari ada saja yang menjadikan keluarga itu
berkumpul bersama untuk sekedar tukar pengalaman, melepas penat di siang hari.
Terkadang setiap habis sholat maghriblah kita berkumpul di ruang tengah, yang
berstatus sebagai ruang keluarga.
Entah apa
yang menjadikan rancu dalam keluarga kecil ini, saat itu aku kelas VI SD dan
umurku 12 tahun. Umur dimana aku sangat haus akan kasih sayang orang tua dan
keluarga seperti anak-anak seumuranku yang lainnya. Ayah-Ibuku berpisah!.
Sungguh sangat sedih hatiku saat itu. Aku dan kakakku, Fitri tak mampu
menyembunyikan kesedihan itu. Hamper-hampir setiap hari aku tak mau pulang ke
rumah, tapi apa daya, itulah rumahku satu-satunya. Tak ada tempat lain yang
bisa kuhampiri. Rumah nenekku, entah! Aku tak tahu menahu perihal nenek, dari
aku lahir sampai sekarang. Yang kutahu dari ibuku, nenek telah lama meninggal.
Dan beliau meninggalkan warisan yang sangat banyak. Ah nenek… kubayangkan, kau
adalah seorang saudagar kaya pada masa itu. Kebun sawit terhampar dimana-mana.
Kau pasti cantik dan banyak orang yang terpesona denganmu dan tentu… terpesona
oleh kekayaanmu. (maafkan aku nek, apakah kataku sungguh tak sopan?).
Semenjak ayah
entah kemana (setelah bercerai dengan ibuku), keadaan ekonomi keluargaku
Alhamdulillah tak begitu papakedane.
Itu berkat nenek. Warisan neneklah yang menolong morat-maritnya keluargaku. Tak
ada kata yang patut kuungkapkan pada nenek selain, terima kasih nek,, aku
sangat menyayangimu. Sungguh!.
Berselangnya waktu
yang terus bergulir membuat keluargaku semakin merasa bahwa sosok ayah
sangatlah berpengaruh dalam masa pertumbuhan anak-anak ayah, khususnya aku. Aku
yang manja, cengeng, egois, menang sendiri, dan ingin diperhatikan terus
membuatku tumbuh menjadi seorang remaja yang urakan, keras kepala dan susah
diatur. Hal itu membuat ibuku khawatir. Apakah aku akan menjadi seorang yang
baik pada nantinya? Itu terbukti saat aku diD.O dari sekolahku SMP Pangudi
Luhur. Aku ketahuan terlibat skandal narkoba. Tapi aku berani bersumpah, bahwa
aku tak tahu menahu tentang masalah itu. Aku difitnah! Entah siapa yang
memasukkan butir-butiran pil ekstasi ke dalam tasku. Gila! Saat itu aku kelas
II SMP. Sampai saat inipun aku belum mengetahui siapa pelakunya. Shiit!
Umpatku.
“ Sudah terbukti, masih aja ngelak!”. Teriak
seseorang dari arah belakangku. Entah siapa itu!.
Samar-samar
aku mendengar seseorang meneriakkan kata-kata itu dengan sedikit mengejek. Tapi
entah itu siapa. Yang jelas suara itu terdengar dari belakangku saat aku
digelangdang oleh beberapa polisi bersama satu orang temanku yang diduga
terlibat juga. Dan anehnya lagi, suara itu sangat kukenal dan terasa sangat
akrab!.
Semenjak
kejadian itu, ibuku sering sakit-sakitan. Mungkin karena memikirkanku begitu
mendalam. Kakakku meminta padaku agar aku tinggal dengan saudara sepupuku di Bagan
Siapi-api.mana
tahan aku disana, kering, tandus dan susah air dan satu lagi bikin aku tak
ngeh, ndeso. Langsung aja aku bilang Tidak! Pada kakakku. Lebih baik tinggal
bersama paman Ali Syahbana, di Pekan Baru. Itu lebih bisa menjadikan hidupku
lebih tenang karena tempat itu terletak di jantung kota, dekat dengan alam
mayang, tempat rekreasi yang sangat eksotik. Tak kalah dengan Dufan, Ancol dan
TMII. Mungkin aku akan terhibur dengan suasana yang semacam itu. Pamanku tak
menolak usulanku dan saat itu juga memboyongku ke Pekan Baru. Ah… pamanku
sangat baik dech!.
Gedung
yang menjulang tinggi, pusat perbelanjaan yang begitu ramai, banyak tempat
rekreasi dan lain sebagainya membuatku berada dalam suasana yang begitu nyaman.
Sampai-sampai aku melupakan tanah kelahiranku di Karimun. Hufft… apa
peduliku dengan tempat yang membuatku hancur! Bahkan aku harus membuat perhitungan
dengan orang yang menfitnahku di sekolah. Tunggu saja. Aku akan menemukanmu dan
aku sudah menemukan balasan apa yang tepat untukmu!. Gumamku dalan hati.
Tempat
sekolah baru, teman baru pun kudapat di tempat baru ini. Bahkan aku menjadi
ketua genk di sekolah. Genk Romter,
begitulah julukan genk gerombolanku. Beranggotakan lima orang. Satu, Zulkifli,
sok ganteng, PD abiiz tapi ndak pelit, itu yang kusuka dari dia, sering
nraktir, maklum anak orang kaya. Dua, Ibnu Rifal, pendek, bermata
tajam kalau lihat cewek bohai, emm… dia manis kayak gulali, sebenarnya dia
pinter kalau belajar, sayangnya dia tak pernah belajar, lazy
abiizz.. makanya pernah tidak naik kelas tiga kali, alhasil dia tua sendiri
diantara genk itu. Tiga, Adi Susilo, akrab dipanggil broowl. Karena
berambut keriting, kurus dan berkacamata. Pinter orangnya tapi sekarang dia
sudah meninggal gara-gara over dosis. Tiba-tiba aku teringat masa-masa bersama
teman-temanku. Empat, Rama, cewek yang asyik, suka ketawa, ramah, tapi
pelit dan sering iri, hamper-hampir ingin menghancurkan teman sendiri. Sebulan
yang lalu dia meninggal karena kecelakaan maut di pertigaan mall SKA. Sungguh
tragis akhir hayatnya. Lima, aku sendiri.
Sepandai-pandainya
aku menyimpan bau belacan,
akhirnya ketahuan juga sampai pamanku.
To be continued…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar